Sabtu, 17 Desember 2011

LA GALIGO KARYA SASTRA TERPANJANG DI DUNIA

Kitab sastra La Galigo merupakan kitab sastra klasik Bugis adalah kitab sastra terpanjang di dunia. Pengakuan ini bukan datang dari orang-orang Bugis (baca: orang Indonesia). Jangankan mengklaim sebagai sastra terpanjang di dunia, orang Bugis sendiri awam dengan La Galigo. Yang mengklaim La Galigo sebagai karya sastra terpanjang di dunia adalah para ilmuwan Belanda.

Seorang ilmuwan Belanda yang bernama R.A.Kern dalam bukunya Catalogus van de Boegineesche tot de I La Galigocyclus Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteitbibliotheek yang diterbitkan oleh Universiteitbibliotheek Leiden (1939: 1) menempatkan Kitab La Galigo sebagai karya sastra terpanjang dan terbesar di dunia setaraf dengan kitab Mahabarata dan Ramayana dari India, serta sajak-sajak Homerus dari Yunani.

Sejalan dengan pendapat R.A. Kern, sejarawan dan ilmuwan Belanda lainnya, Sirtjof Koolhof, berpendapat bahwa Kitab Galigo adalah karya sastra terpanjang di dunia yang panjangnya mencapai lebih 300.000 baris, sementara epos Mahabarata jumlah barisnya antara 160.000 – 200.000 baris.

Pendapat R.A. Kern dan Sirtjof Koolhof berdasarkan atas 12 jilid naskah La Galigo yang kini berada di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah tersebut ditulis oleh Colliq Pujie Arung Pancana Toa pada abad ke-19 atas permintaan B.F Matthes (1818-1908). B.F Matthes adalah seorang missionaris Belanda yang pernah bertugas di Sulawesi. Sejatinya, Colliq Pujie hanyalah mengumpulkan dan menyalin kembali cerita La Galigo yang sudah mengakar (cerita lisan) pada masyarakat yang mendiami jazirah selatan Pulau Sulawesi –masyarakat Bugis.

Saat ini sudah muncul buku-buku transliterasi La Galigo atas jasa-jasa para kaum intelektual Sulsel seperti Muhammad Salim, M.Johan Nyompa, Fahruddin Ambo Enre, dan Nurhayati Rahman –mereka patut disebut pejuang La Galigo– Tetapi transliterasi tersebut nampaknya masih susah dibaca dan dicerna oleh masyarakat.

La Galigo, hadir dalam bentuk sebuah novel

La Galigo mengalami ‘perjalanan panjang’. Meski lahir di Tanah Bugis, Indonesia, namun ia ‘besar’ di negeri Belanda. Selain salinan naskah aslinya yang terdiri atas 12 jilid yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, Kitab La Galigo pun menjadi primadona bagi para mahasiswa Belanda untuk melakukan riset sastra dan budaya untuk meraih gelar magister dan doktor.

Setelah pulang kampung ke negeri asalnya, hingar-bingar sebagai karya sastra klasik yang ramai diperbincangkan di negeri orang, namun tidak sebingar di tanah kelahirannya.

La Galigo, yang pada tahun 2011 ini mendapat penghargaan khusus karena badan PBB UNESCO menetapkan naskah klasik La Galigo sebagai warisan dunia dan diberi anugerah Memory of The World (MOW).

Anda yang ingin mengetahui isi La Galigo, silakan dibaca novel “La Galigo” yang diterbitkan oleh Penerbit Diva Press Yogyakarta.

(dul abdul rahman)

Jumat, 09 Desember 2011

CHAERUDDIN HAKIM PENYELAMAT KELONG MAKASSAR

Oleh: dul abdul rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

Mangkasara’ bori’ ada
Bori’ pa’rimpungang pacce
Sukku’ sungguna
Kimassing paenteng siri’
Nani areng Mangkasara’
Kania’ pacce attayang
Punna taena
Bellai ri pangngadakkang

(Makassar negeri adat
Negeri perkumpulan kasih sayang
Sangatlah baik
Jika saling tegakkan harga diri
Diberi nama Makassar
Sebab kasih sayang menanti
Jika tak ada
Jauh dari adat-istiadat)

Mungkin saja jika para mahasiswa di Makassar pernah membaca dan memahami kelong Makassar tersebut di atas maka mereka akan menjaga nama baik Makassar di mata orang-orang luar Makassar. Betapa tidak! Istilah “Makassar yang kasar” selalu saja memerah-hitamkan telinga saya ketika berkunjung ke daerah-daerah lain seperti Jakarta, Yogyakarta, hingga Padang.

Istilah “Makassar yang kasar” tentu saja “diiklankan” oleh para mahasiswa di Makassar. Bukan hanya dalam melakukan aksi-aksi demonstrasi yang sesungguhnya bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Tapi yang memalukan adalah jika para mahasiswa berkelahi antar mahasiswa atau antar fakultas dalam internal kampus yang seolah menjadi trend mahasiswa di Makassar.

Dibanding dengan kota-kota besar lainnya seperi Jakarta, Bandung, Surabaya, atau Medan, wajah Makassar memang lebih dominan (baca: sangar) muncul di teve jika itu menyangkut demo anarkis. Bahkan saya sendiri mengenal baik fly over di Jalan Urip Sumoharjo lewat teve. Dan sampai saat ini bayangan saya akan fly over adalah tempat berkumpulnya para mahasiswa atau tempat mahasiswa berkejar-kejaran dengan polisi.
Untuk mengembalikan mahasiswa Makassar kepada jati dirinya. Sebagai insan akademis yang cerdas, memperjuangkan hak-hak rakyat dengan “merakyat”(tidak mengganggu kepentingan rakyat, seperti mengganggu lalu lintas) maka mahasiswa Makassar perlu diagnosa dan diobati dengan ajaran-ajaran adiluhung yang bersumber dari budaya-budaya lokal. Bukankah ajaran adilihung orang Bugis-Makassar-Mandar-Toraja yang mayoritas menghuni Sulawesi Selatan adalah prinsip sipakatau (saling menghargai), sipakainga (saling mengingatkan), sipakalebbi (saling memuliakan).

Adalah Chaeruddin Hakim, seorang seniman dan penyair Makassar, patut diapresiasi dalam menjaga dan melestarikan ajaran-ajaran adiluhung dan pappaseng dalam bahasa Makassar. Lewat bukunya “Kitab Kelong Makassar”, Chaeruddin Hakim berhasil mengumpulkan dan menuliskan kembali Kelong Makassar Tradisi yang bersumber dari kelong asli (anonim). Selanjutnya Cheruddin Hakim memberi pesan kelong-kelong tersebut sehingga mudah dipahami dan dipelajari oleh pembaca. Bukan hanya itu, Chaeruddin Hakim juga mencipta beberapa Kelong Makassar Modern yang berisi pesan-pesan moral yang berguna sebagai alat pembelajaran. Kelong yang menjadi pembuka tulisan ini adalah salah satu ciptaan Chaeruddin Hakim.

Pembelajaran nilai-nilai moral sepatutnya memang menjadi perhatian pemerintah. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, tentu saja pelajaran muatan lokal haruslah bertumpu pada nilai-nilai lokal setempat. Memang pembangunan seharusnya bermuatan budaya. Pun pembangunan haruslah “berbudaya”. Menggusur tempat-tempat bersejarah yang menjadi lambang sejarah dan peradaban adalah sebuah pembangunan yang mengingkari wajah sejarah. Selain itu, nilai-nilai kearifan lokal yang berbasis pada bahasa dan sastra lokal haruslah menjadi perhatian pemerintah.

Pemerintah dan masyarakat memang harus turun tangan menjaga budaya dan bahasanya. Adagium Kalau Bukan Kita Siapa Lagi, seharusnya menjadi sebuah cambuk untuk melestarikan budaya sendiri. Yang menjadi keresahan utama sebenarnya adalah sebuah paradigma baru yang mengatakan bahwa sastra, bahasa, dan budaya lokal akan tergerus oleh arus deras globalisasi. Asumsi ini tidaklah mencengankan, karena diam-diam tsunami globalisasi menerjang ruang-ruang kita tanpa kita sadari. Anak-anak pada zaman dahulu yang disuguhi dongeng-dongeng pengantar tidur sebagai media pembelajaran tergantikan dengan acara-acara teve yang menawarkan sebuah trend baru. Maka kemudian, anak-anak kita lebih mengenal tokoh-tokoh macam Batman, Spiderman, Robinhood daripada tokoh-tokoh Lapundarek, Lamellong, Karaeng Pattingaloang, dan lain-lain.


Maka sepatutnya segala daya upaya Chaeruddin Hakim melestarikan kelong dan pappaseng Makassar haruslah didukung dan diapresiasi. Seniman dan penyair yang kreatif ini semestinya diberi aplaus panjang, sepanjang cita-citanya untuk terus menjaga dan melestarikan kearifan-kearifan lokal Sulawesi Selatan. Dan semoga saja budaya, sastra, dan bahasa lokal kita tidak dihanyutkan oleh arus tsunami globalisasi. Budaya lokal sebagai sumber nilai luhur harus menghablur. Ia tidak boleh kabur. Ia harus terus tumbuh subur. dulabdul@gmail.com

Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya, sejauh ini mengarang 7 buah novel)

PERSEKUTUAN INDONESIA DAN MALAYSIA DALAM KARYA SASTRA

(Catatan Pengantar “Tunggu Aku di Pantai Losari” karya Hasbullah Said)

Oleh: dul abdul rahman

Sejarah pertautan yang mesra antara Indonesia dan Malaysia sudah berlangsung sejak lama. Bahkan khusus pertautan antara suku Bugis-Makassar dan suku Melayu, kepustakaan Melayu mencatat bahwa beberapa Sultan di Malaysia adalah keturunan Bugis-Makassar, seperti Sultan Selangor, Johor, Pahang, dan Trenggano.

Namun pertautan yang mesra tersebut belakangan mengalami pasang surat. Berawal dari ucapan Presiden Republik Indonesia pertama Soekarno, “Ganyang Malaysia!” Awal mula kemarahan Soekarno karena Malaysia ingkar janji. Semula Malaysia memang ingin bergabung dengan Indonesia untuk menghindari bergabung dengan Cina. Alasan Malaysia untuk bergabung dengan Indonesia dibandingkan dengan Cina karena Indonesia adalah saudara serumpun. Indonesia dan Malaysia sama-sama ras Melayu. Tapi tempo itu Jepan yang menjajah Indonesia menyerah kepada tentara sekutu. Lalu Malaysia berubah arah angin ingin merdeka sendiri, menentukan nasib sendiri. Lalu Malaysia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 31 Agustus 1957, lebih muda dua belas tahun daripada Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

Hubungan Indonesia dan Malaysia selanjutnya mengalami pasang surut. Pada tahun 1980-an, Malaysia berusaha belajar dari Indonesia untuk meningkatkan SDM mereka. Bahkan kala itu pemerintah Malaysia mengimpor guru-guru dari Indonesia, khususnya guru-guru eksakta untuk mengajari murid-murid mereka. Di saat yang sama, Malaysia mengirim guru-gurunya belajar di luar negeri, khususnya Inggeris. Maka beberapa tahun kemudian Malaysia bergerak maju di bidang pendidikan dan SDM. Bukan hanya itu, Malaysia kian maju di segala bidang. Di saat yang sama, penduduk Indonesia kian bertambah banyak tanpa ditunjang oleh lapangan pekerjaan yang memadai. Maka berbondong-bondonglah warga Indonesia mengaiz rezeki di Malaysia sebagai bangsa kuli. Lalu, perlakuan yang semena-mena dari beberapa oknum majikan di Malaysia terhadap TKI dan TKW dari Indonesia membuat masyarakat Indonesia merasa dilecehkan. Seterusnya hubungan Indonesia dan Malaysia terkadang panas.

Bahkan salim klaim antara perbatasan dan pulau perbatasan antara Indonesia dan Malaysia kian memanaskan suasana. Bahkan setelah lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia melalui sidang mahkamah internasional membuat hubungan Indonesia dan Malaysia merenggang. Meski demikian, laiknya saudara sendiri, saudara serumpun. Hubungan Indonesia dan Malaysia tetaplah tidak bisa dipisahkan. Saling membutuhkan. Atau mungkin saling merindukan.

Karena sejarah panjang itulah. Hubungan Indonesia-Malaysia serupa hubungan kekasih. Terkadang ada benci. Pun terkadang ada marah. Tapi disebalik rasa benci dan marah itu ada rasa kasih dan sayang. Bukankah marah sesungguhnya adalah rasa sayang yang berlebihan? Sedangkan benci adalah rasa rindu yang tak kesampaian?

Dalam kesusastraan, jalinan hubungan Indonesia dan Malaysia tetaplah mesra. Bahkan seorang Sastrawan Negara Malaysia bernama Arena Wati adalah asli suku Bugis-Makassar. Arena Wati dilahirkan pada tanggal 30 Juli 1925 di Jeneponto, Sulawesi Selatan. Sastrawan Negara yang sangat dihormati di Malaysia yang berpulang ke rahmatullah pada tahun 2009 tersebut bernama asli Muhammad Dahlan bin Abdul Biang. Dalam kepengarangannya, Arena Wati selalu berusaha untuk mempertautkan nasionalisme Melayu.

Sastrawan Negara Malaysia lainnya yang memang asli orang Melayu bernama Usman Awang berusaha mempertautkan antara rumpun Melayu. Tengoklah penggalan puisi Usman Awang berikut ini:

Melayu di Tanah Semenanjung luas maknanya
Jawa itu Melayu,
Bugis itu Melayu
Banjar juga disebut Melayu,
Minangkabau memang Melayu,
Keturunan Acheh adalah Melayu,
Jakun dan Sakai asli Melayu
Mamak dan Malbari serak ke Melayu.

Dua puluh tahun setelah Arena Wati lahir di Jeneponto, di tempat yang sama lahirlah pula seorang penulis bernama Hasbullah Said. Walaupun beliau tidak sepenuh waktu berkecimpung di dalam dunia sastra dan dunia kepenulisan laiknya Arena Wati, tetapi sosok Hasbullah Said tetaplah patut dicatat sebagai seorang penulis yang berusaha mempertautkan hubungan Indonesia dan Malaysia.

Hasbullah Said lewat cerpen-cerpennya dalam buku ini melukiskan akan kerinduan itu. Kerinduan antara Indonesia dan Malaysia. Kerinduan antara Makassar dan Selangor, atau Makassar dengan Pulau Penang. Benci tapi rindu, mungkin kalimat itulah yang mewakili rasa antara Indonesia dan Malaysia. Cerita-cerita Hasbullah Said mengalir alami serupa mata air dari pegunungan Gunung Bawakaraeng dan Gunung Lompobattang dari Sulawesi Selatan serta Gunung Tahan dan Gunung Kinabalu dari Malaysia. Percikan mata air tersebut akan membawa Anda menikmati tetesan-tetesan kerinduan itu.


Dan cerpen “Tunggu Aku di Pantai Losari” yang juga menjadi judul buku kumpulan cerpen ini kian membawa Anda akan merindukan Makassar, khususnya Pantai Losari. Tapi sayang sekali kerinduan akan Pantai Losari dengan ikon “restoran panjang”nya sudah berubah. Pantai Losari seolah menggeliat khianat. Selamat membaca!

Yogyakarta, Desember 2010
Dul Abdul Rahman
(Sastrawan dan peneliti budaya, sejauh ini mengarang 7 buah novel)

JEJAK PEREMPUAN MAKASSAR DALAM FOLKLOR

JEJAK PEREMPUAN MAKASSAR DALAM FOLKLOR

oleh: dul abdul rahman

Foklor atau dongeng(folktale) merupakan bagian dari cerita rakyat, disamping mite(myth), dan legenda(legend). Cerita rakyat sebagai kekayaan budaya dalam suatu masyarakat tentunya merupakan ruh dari masyarakat tersebut. Cerita rakyat merupakan media yang cukup ampuh untuk menanamkan sebuah nilai luhur. Nilai luhur berupa pesan-pesan, ajaran-ajaran hidup, pengalaman batin, berbagai informasi hasil kebudayaan dan pengetahuan dari orang-orang terdahulu tersebut merupakan nilai yang diwariskan secara turun temurun.

Adalah Ery Iswary, seorang dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin yang juga seorang “Perempuan Makassar” yang telah melakukan penelitian terhadap beberapa dongeng berbahasa Makassar. Dongeng yang menjadi obyek penelitiannya adalah dongeng “Perempuan Makassar” masing-masing: “I Saribulang Dg. Macora”, “I Basse Panawa-nawa ri Galesong”, “St. Naharirah”, dan “I Marabintang”.

Dari dongeng-dongeng yang ditunjukkan oleh Ery Iswary sudah pasti memberi pembelajaran kepada pembaca atau pendengar dongeng-dongeng tersebut. Bahkan sebagaimana fungsinya menurut William Bascon sebagai media pembelajaran dan alat untuk memprotes ketidakadilan, maka dongeng-dongeng tersebut akan memberi motivasi kepada kaum perempuan untuk berkiprah di berbagai aspek kehidupan seperti halnya kaum pria.

Sosok I Basse memberi pelajaran bagaimana seorang perempuan harus memiliki ilmu pengetahuan termasuk ilmu agama. Bukan hanya ilmu agama, I Basse juga sudah menimba ilmu kekebalan. Pelajaran berikutnya adalah kemandirian St Naharirah yang hidup sebatang kara yang mengurus dirinya sendiri dan mandiri secara ekonomi. Tak kalah heroiknya adalah I Marabintang yang ikut berperang melawan Karaeng Somba Jawa dan anak buahnya yang telah membunuh suaminya.

Ery Iswary menunjukkan secara detail bagaimana posisi dan peran perempuan Makassar dalam dongeng-dongeng tersebut. Nilai pembelajaran utama dari dongeng-dongeng tersebut adalah kemandirian. Dari sosok St. Naharirah membuktikan bahwa perempuan bisa bersaing dengan pria di bidang ekonomi. Gelar saudagar kaya bukan hanya gelaran buat kaum pria tetapi juga buat perempuan. Ya, saudagar kaya St. Naharirah.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sejak dahulu peran perempuan dalam sejarah Makassar sudah nampak. Bahkan peran perempuan Makassar terekam jelas dalam sejarah tulis dan lisan Kerajaan Gowa. Tomanurung Bainea(1320-1345) bahkan muncul sebagai tokoh perempuan pemersatu wilayah Kerajaan Gowa.

Berdasarkan penelitiannya atas keempat dongeng “perempuan” tersebut, Ery Iswary membantah konsep Holzner tentang penyosialisasian nilai-nilai dalam masyarakat terhadap perempuan yang berlaku di Asia, yaitu nilai pemingitan dan nilai pengucilan. Perempuan hanya ditempatkan pada bagian-bagian tertentu. Ery Iswary memandang pandangan Holzner bias gender dan merugikan kaum perempuan.

Inilah saya kira yang menjadi “pertanyaan” saya atas buku ini. Dan pertanyaan itu bisa saja menjadi sebuah titik kelemahan. Tapi tentu saja sebuah titik kelemahan dari gumpalan ribuan titik yang menjadi kelebihan dan kekaguman saya. Adalah tidak ‘gentlewomen’ (yang laki-laki boleh baca: gentleman) bila menolak pendapat Holzner dengan hanya menunjukkan segelentir dongeng yang memang berjudul “perempuan” di wilayah Sulawesi Selatan. Bukankah masih banyak dongeng atau cerita lainnya yang membenarkan pendapat Holzner tersebut.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mempertahankan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Tapi tulisan ini ingin membenarkan bahwa secara kuantitas pada zaman dahulu, perempuan Asia memang mengalami perlakuan tidak adil sebagaimana klaim Holzner. Dan saya kira pendapat Holzner tidak perlu membuat kuping perempuan memerah. Yang seharusnya kita lawan sekarang adalah jangan lagi adalah labelisasi yang bias gender yang dapat merugikan perempuan. Tapi bukankah terkadang perempuan sendiri yang meminta dirinya untuk dilabelisasi. Bukankah permintaan kuota 30 persen sebagai keterwakilan perempuan pada dewan perwakilan rakyat misalnya bisa mengerdilkan perempuan. Bukankah sebutan “kuota 30 persen” akan menasbihkan bahwa kaum pria berada di “kuota 70 persen” dari perempuan. Padahal perempuan tak perlu “dilabeli” 30 persen agar kaum perempuan bisa mendapatkan lebih dari itu dengan belajar dari tokoh-tokoh perempuan dalam dongeng yang telah ditunjukkan Ery Iswary


Saya kira saat ini, sosok Ery Iswary sudah berada di garis terdepan untuk melawan jangan lagi ada labelisasi yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua yang kadang-kadang terdiskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan. Dan buku “Perempuan Makassar” ini akan menjadi pencerahan bahkan wejangan bagi siapa saja, khususnya perempuan, dan lebih khusus lagi perempuan Makassar. Ya! Perempuan Makassar harus baca “Perempuan Makassar” yang ditulis oleh “Perempuan Makassar”. dulabdul@gmail.com

Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya, sejauh ini mengarang 7 buah novel)

Selasa, 15 November 2011

cerpen pilihan: Guy de Maupasant dan dul abdul rahman

SEUNTAI KALUNG
Oleh: Guy de Maupasant

Dia adalah salah satu di antara sekian gadis cantik dan menarik yang terkadang karena kesalahan takdir, terlahir di tengah keluarga juru tulis. Dia tidak memiliki mas kawin, harapan-harapan, sarana untuk terkenal, dipahami, dicintai, atau dinikahi oleh pria kaya dan terhormat. Dan akhirnya dia pasrah hanya dinikahi oleh seorang juru tulis biasa yang bekerja di Kementerian Penerangan.

Dandanannya sederhana saja karena dia memang tidak bisa berdandan lebih bagus lagi. Tapi dia bersedih seakan-akan dirinya memang sungguh-sungguh terjatuh dari statusnya yang semestinya, karena dia menjadi seperti wanita kebanyakan pada umumnya.

Dia tak pernah berhenti merasa menderita, dia merasa dirinya dilahirkan untuk tidak menikmati segala keempukan dan kemewahan. Dia menderita karena rumahnya yang sangat sederhana, dindingnya yang buruk, kursi-kursi yang sudah usang, dan tirai-tirai yang sudah jelek. Segala hal itu, yang bagi wanita lain yang sederajat dengannya dianggap biasa saja, telah membuatnya sangat kesal.

Dia melamunkan ruang depan yang tenang, di mana dinding-dindingnya dipasangi permadani oriental, serta diterangi dengan kandil perunggu yang panjang. Dan juga adanya dua orang pelayan bertubuh kekar bercelana pendek yang tertidur di kursi-kursi belakang. Mereka terkantuk oleh kehangatan udara perapian.
Dia pun melamunkan ruang tamu panjang yang dihiasi sutera kuno, mebel-mebel yang antik, dan kamar rias yang semerbak dengan aroma wewangian yang menggoda untuk tempat bercengkerama setiap pukul lima sore dengan pria-pria terkenal yang digandrungi, di mana wanita-wanita yang lain akan merasa cemburu karena ingin mendapat perhatian seperti itu juga.

Tiga hari yang lalu ketika sedang duduk makan malam di depan meja bundar yang berlapis taplak, di depan suaminya yang membuka mangkuk sup dan berkata penuh kekaguman, “Ah, daging sup yang lezat! Tak ada yang lebih enak daripada ini”. Wanita itu justru sedang melamunkan makan malam yang mewah, peralatan makan dari perak yang berkilau, permadani yang memenuhi dinding dengan gambar tokoh-tokoh terkemuka dari masa lalu dan burung-burung aneh yang beterbangan di antara rerimbunan hutan yang ada di negeri dongeng. Dia pun melamunkan hidangan-hidangan lezat yang disajikan di piring yang elok, dan mendengarkan bisikan-bisikan menggoda sambil mengulum senyum ketika sedang menyantap daging ikan trout yang berwarna pink atau sayap burung puyuh.

Dia tidak memiliki gaun-gaun, perhiasan-perhiasan, tidak memiliki apa-apa. Dan tak ada yang disukainya kecuali itu, dia merasa dirinya adalah untuk itu. Sebuah kemewahan. Dia begitu ingin dirinya bahagia, dicemburui, menarik, dan membuat orang lain tergila-gila.

Dulu. Ketika masih bersekolah di biara, dia memiliki seorang teman yang kaya. Tapi dia tak mau lagi mengunjunginya, karena dia begitu merasa menderita setelah pulang dari rumah temannya itu.

Namun suatu sore suaminya pulang ke rumah dengan perasaan penuh kemenangan dan membawa sebuah amplop besar di tangannya.

“Ini,” katanya. “Ada sesuatu untukmu.”

Wanita itu segera merobeknya dan menarik selembar kartu bertuliskan:
Menteri Penerangan dan Nyonya Georges Ramponneau dengan hormat mengundang Tuan dan Nyonya Loisel di Gedung Kementerian pada hari Senin sore tanggal delapan belas Januari.

Bukannya gembira seperti yang diharapkan oles suaminya, tapi justru dilemparkannya undangan itu begitu saja di atas meja. Dengan suara lirih dia berkata:

“Apa yang kau inginkan dariku dengan undangan itu?”

“Tetapi, Sayang, kupikir kau akan senang. Kau kan tidak pernah pergi-pergi, dan ini adalah kesempatan yang bagus. Aku telah bersusah payah mendapatkannya. Setiap orang ingin datang, ini sangat diseleksi, dan mereka tidak memberikan banyak undangan untuk para juru tulis. Semua pejabat akan hadir di sana.”

Dia memandang suaminya dengan tatapan pedih dan berkata dengan gusar:

“Dan menurutmu aku harus memakai apa?”

Suaminya tidak berpikir ke situ, ia berkata dengan gagap:
“Kenapa, gaun yang dulu kau pakai ke teater, bagiku gaun itu cukup bagus.”
Suaminya terdiam, bingung, melihat isterinya menangis. Air matanya jatuh dari kedua ujung matanya dan mengalir perlahan-lahan sampai ke ujung mulutnya. Suaminya berkata gagap:

“Ada apa? Ada apa?”

Tapi dengan usaha keras wanita itu segera dapat mengatasi kepedihannya, dan dia menjawab dengan suara yang tenang sambil menyapu kedua belah pipinya yang basah:
“Tak apa-apa. Hanya aku tidak punya gaun dan oleh sebab itu aku tidak bisa berangkat ke pesta. Berikan saja undangan itu kepada salah seorang di antara teman-temanmu yang isterinya lebih baik dan dananya lebih banyak daripada aku.”
Suaminya putus asa. Ia melanjutkan:

“Ayo kita bahas, Mathilde. Berapa harganya sebuah gaun pantas, yang nanti bisa kau pakai lagi untuk kesempatan lainnya, gampang kan?”

Isterinya berpikir beberapa detik, membuat kalkulasi harga sambil memperkirakan jumlah yang dapat diajukannya. Jumlah yang dapat diterima serta tidak mengejutkan untuk perekonomian seorang juru tulis.

Akhirnya dia berkata dengan ragu-ragu:

“Aku tak tahu pasti, tapi kurasa aku bisa mengatasinya dengan empat ratus franc.”
Suaminya agak pucat, karena ia sendiri telah menyisihkan uang sejumlah itu untuk membeli sebuah bedil yang akan digunakan berburu di musim panas nanti di Dataran Nanterre dengan beberapa orang teman yang pada hari Ahad lalu menembak burung-burung lark di sana bersamanya.

Tapi ia berkata:
“Baiklah. Aku akan memberimu empat ratus franc. Dan usahakan untuk mendapat sebuah gaun yang cantik.”
Hari penyelenggaraan pesta itu sudah semakin dekat, tapi Nyonya Loisel nampak murung dan gelisah. Padahal gaunnya sudah siap. Suatu sore suaminya berkata kpadanya:

“Ada apa? Ayolah, kau kelihatan begitu ganjil tiga hari terakhir ini.”
Isterinya menjawab:

“Aku bingung karena tidak memiliki sebuah perhiasan pun, tidak ada sebutir perhiasan pun, tidak ada sebutir permata, tidak ada yang bisa dipakai. Aku akan kelihatan payah sekali. Lebih baik tidak usah pergi saja.”
Suaminya berkata:

“Kau bisa memakai perhiasan dari bunga-bunga alami. Tahun ini hal itu sedang jadi mode. Dengan sepuluh franc kau bisa memperoleh dua atau tiga bunga mawar yang indah.”

Tapi isterinya tidak bisa diyakinkan.

“Tidak, tak ada yang lebih memalukan daripada terlihat miskin di antara wanita-wanita lain yang kaya.”

Tapi suaminya berseru:

“Bodohnya kamu! Pergilah ke rumah temanmu, Nyonya Forestier, dan mintalah kepadanya untuk meminjamimu beberapa perhiasan. Kau cukup akrab dengannya untuk melakukan itu.”

Wanita itu berseru gembira:

“Betul! Aku tak pernah memikirkannya.”
Hari berikutnya dia pergi mengunjungi temannya dan menceritakan kesulitannya.
Nyonya Forestier berjalan ke sebuah lemari pakaian yang berpintu kaca, mengambil sebuah kotak besar berisi perhiasan, membawanya kembali, membukanya dan berkata kepada nyonya Loisel:

“Pilihlah, sayangku.”
Pertama kali dipandangi semua gelang, kemudian seuntai kalung mutiara, lalu salib Veneia, emas, dan batu-batu perhiasan hasil karya seniman yang luar biasa. Dia mencoba perhiasan-perhiasan itu di depan cermin sambil terkagum-kagum. Rasanya dia tak ingin melepasnya lagi, mengembalikannya lagi. Dia selalu bertanya:

“Apakah kau masih punya yang lain?”
“Kenapa, tentu saja. Lihatlah. Aku tak tahu mana yang kau sukai.”
Tiba-tiba dia menemukan, di dalam sebuah kotak satin berwarna hitam, seuntai kalung permata yang luar biasa indah, dan jantungnya pun mulai berdebar kencang. Kedua tangannya gemetar saat mengambilnya.

Dipasangnya kalung itu di lehernya, di luar gaunnya yang sampai ke leher. Dan perasaannya terombang-ambing di awang-awang ketika dia menatap dirinya di depan cermin.

Kemudian dia meminta dengan ragu dan memelas:

“Dapatkah kau meminjamkan yang ini, hanya yang ini saja?”
“Kenapa? Ya, tentu saja.”

Dia melompat meraih leher temannya, menciuminya, lalu berlari dengan perhiasannya.
Hari pesta itu pun tiba. Nyonya Loisel meraih kemenangan besar.
Dia adalah satu-satunya wanita tercantik di antara mereka semua.
Anggun, sangat ramah, selalu tersenyum, dan sangat gembira. Semua pria meliriknya, menanyakan namanya, dan berusaha berkenalan. Semua atase kabinet ingin berdansa dengannya. Bahkan menteri sendiri juga mengajaknya berdansa.

Dia baru selesai sekitar pukul empat pagi. Suaminya telah tertidur sejak tengah malam tadi di sebuah ruang depan yang sepi bersama tiga orang pria lainnya yang isteri-isteri mereka juga bersenang-senang. Pria itu lalu melampirkan selembar selendang yang telah dibawanya sejak tadi ke bahu isterinya, selendang biasa saja, yang mana saking sederhananya sangat kontras dengan gaun pesta yang dipakainya. Wanita itu merasakannya, dan ingin menghindar sehingga dirinya tidak menjadi bahan pembicaraan wanita-wanita lain yang membungkus tubuh-tubuh mereka dengan mantel bulu yang mahal.

Loisel menahan punggung isterinya.
“Tunggu sebentar. Kau akan kedinginan di luar. Aku akan pergi memanggil sebuah taksi.”
Tapi tak dihiraukannya suaminya, dan dengan cepat ia menuruni tangga. Ketika sudah berada di jalan mereka tidak menemukan kendaraan, dan mereka mulai mencarinya. Mereka berteriak ke arah sopir-sopir taksi yang kendaraannya melaju di kejauhan.
Mereka berjalan turun menuju Seine, dalam keputusasaan dan menggigil kedinginan. Akhirnya di sebuah dermaga mereka mendapatkan sebuah mobil kuno yang tertutup dan berpintu dua, yang hanya muncul di Paris ketika malam telah turun.
Kendaraan itu mengantar mereka sampai ke depan pintu rumah di Rue des Martyrs, dan sekali lagi, dengan sedih, mereka berjalan pulang ke rumah. Segalanya telah berakhir bagi wanita itu. Dan bagi sang suami, ia berpikir bahwa ia sudah harus berada di kementerian pada pukul sepuluh.

Wanita itu melepas selendang yang membungkus bahunya di depan cermin, sehingga sekali lagi ingin melihat dirinya dalam segala kejayaannya. Tapi tiba-tiba dia menjerit. Kalungnya tidak lagi berada di lehernya.
Suaminya yang sedang melepas pakaian bertanya:

“Ada apa denganmu?”
Dengan perasaan panik dia berpaling ke arah suaminya.
“Aku… aku… aku telah menghilangkan kalungnya Nyonya Forestier.”
Suaminya bangkit, kalut.
“Apa? Bagaimana? Mustahil!”
Dan mereka berdua mencari di antara lipatan-lipatan gaunnya, dalam lipatan-lipatan mantelnya, dalam dompet-dompetnya, di mana saja. Tapi mereka tidak menemukannya.
Suaminya bertanya:

“Kau yakin tadi masih memakainya ketika meninggalkan pesta?”
“Ya, aku masih merasakannya di ruang depan gedung.”
“Tapi jika kau menghilangkannya di jalan, kita mestinya mendengar bunyinya ketika jatuh. Jangan-jangan di dalam mobil.”
“Ya, mungkin saja. Apakah kau mencatat nomornya?”
“Tidak. Dan kau, apakah kau memperhatikannya?”
“Tidak.”
Bagai disambar petir, mereka saling memandang. Akhirnya Loisel mengenakan kembali pakaiannya.

“Aku akan kembali menelusuri jalan tadi dengan berjalan kaki,” katanya, “ke seluruh rute yang telah kita lalui untuk memeriksa kalau-kalau dapat menemukannya.”
Lalu ia pun pergi ke luar. Sedangkan isterinya menunggu di kursi dengan gaun pestanya, tanpa ada tenaga untuk pergi ke tempat tidur, tak berdaya, tanpa semangat, tanpa pikiran.

Suaminya kembali lagi sekitar pukul tujuh pagi. Ia tidak menemukan apa-apa.
Kemudian laki-laki itu pergi lagi ke kantor-kantor polisi, kantor-kantor surat kabar, untuk menawarkan imbalan bagi siapa yang menemukannya. Ia pergi ke perusahaan-perusahaan taksi, ke mana saja, sesungguhnya, ke mana dirinya terdorong oleh seberkas harapan.

Isterinya menunggu sepanjang hari, dalam kecemasan yang sama seperti sebelum petaka itu terjadi.

Malamnya Loisel pulang dengan lemah dan pucat. Ia kembali tak menemukan apa-apa.
“Kau harus menulis surat pada temanmu,” katanya, “bahwa kau telah merusak jepitan kalung itu sehingga kau harus membetulkannya.

Dengan demikian kita masih punya kesempatan untuk mengembalikannya.”

Dia menulis mengikuti dikte dari suaminya.
Pada akhir dari pesan itu mereka kehilangan semua harapan.
Dan Loisel, yang tampak semakin cepat bertambah tua lima tahun, memutuskan:
“Sekarang kita harus memikirkan bagaimana caranya untuk mengganti perhiasan itu.”
Hari berikutnya mereka membawa kotak kalung itu menuju ke toko perhiasan yang namanya tercantum di kotak itu. Pemilik toko tadi kemudian memeriksa catatannya.

“Bukan saya yang menjual kalung itu, Nyonya.”

Kemudian mereka pergi dari satu toko perhiasan yang lain untuk mencari kalung seperti itu. Mereka berdua saling mencocokkan ingatan masing-masing satu sama lain. Keduanya merasa tersiksa dan menderita.

Akhirnya di sebuah toko di Palais Royal mereka menemukan seuntai kalung permata yang benar-benar mirip dengan yang mereka cari.
Kalung itu berharga empat puluh ribu franc. mereka bisa menawarnya sampai tiga puluh enam ribu.

Mereka meminta kepada penjual kalung itu untuk tidak menjualnya kepada orang lain selama tiga hari ini. Dan mereka menawarkan bahwa si penjual tadi bisa membeli kembali kalungnya seharga tiga puluh empat ribu franc seandainya mereka berdua bisa menemukan kalung yang hilang sebelum akhir Februari.

Loisel memiliki delapan belas ribu franc dari peninggalan ayahnya. Ia harus meminjam sisanya.

Ia pun mencari pinjaman. Meminta seribu franc dari sesorang, lima ratus franc dari yang lainnya, lima louis di sini, tiga louis di sana. Ia memberi surat utang, mengambil utang-utang yang berbunga tinggi, membuat persetujuan dengan para rentenir dan semua orang yang bisa meminjamkan uang. Ia mempertaruhkan sisa hidupnya, mempertaruhkan tanda tangannya tanpa mengetahui apakah ia nanti mampu memenuhi janjinya atau tidak. Tanpa menyadari halangan dan musibah yang akan menimpanya, dan kemungkinan tekanan-tekanan batin yang harus ditanggungnya. Ia pergi untuk memperoleh kalung yang baru, membayar dulu kepada penjualnya tiga puluh enam ribu franc.

Ketika Nyonya Loisel mengembalikan kalung itu, Nyonya Forestier berkata dingin kepadanya:

“Seharusnya kau kembalikan lebih cepat, mungkin aku akan memakainya.”
Dia tidak membuka kotaknya, karena temannya tampak begitu ketakutan. Seandainya ia mengetahui penggantian itu, apa yang akan dipikirnya, apa yang akan dikatakannya? Apakah dia tidak akan menuduh Nyonya Loisel sebagai pencuri?

Kini Nyonya Loisel mengerti betapa mengerikannya kemiskinan.
Dia terjun ambil bagian, dengan tiba-tiba, secara heroik. Utang-utang yang mengerikan itu harus dibayar. Dan dia akan membayarnya. Mereka memulangkan pembantu, mengubah tata ruang tempat tinggal mereka dan menyewakan ruangan di loteng.

Kini dia merasakan betapa beratnya pekerjaan rumah tangga dan merawat dapur yang kotor. Dia mencuci peralatan makan, dengan kuku-kukunya yang kemerahan pada panci dan periuk yang berminyak. Dia mencuci kain-kain kotor, baju-baju dan lap-lap, yang kemudian dijemur pada seutas tali. Dia membuang air limbah setiap pagi ke jalanan, lalu mengambil air bersih, kemudian berhenti untuk menarik nafas setiap kali sampai. Dan, berdandan seperti wanita kebanyakan pada umumnya. Dia pergi berbelanja ke tukang buah, grosir, tukang daging, membawa keranjang, melakukan tawar-menawar, menahan hinaan, mempertahankan uangnya yang sedikit sou demi sou.

Setiap bulan mereka harus melunasi beberapa utang dan mencari pinjaman yang lain lagi, mengulur waktu.
Suaminya pada petang hari bekerja membuat salinan untuk beberapa catatan dari pedagang, dan pada larut malam ia sering menyalin berkas-berkas dengan upah lima sou per lembar.

Dan kehidupan seperti ini berakhir setelah sepuluh tahun. Dan sesudah sepuluh tahun berlalu, mereka telah membayar semuanya, semua utang dan bunga-bunganya.
Nyonya Loisel terlihat tua sekarang. Dia telah menjadi seorang ibu rumah tangga dari kalangan biasa. Kuat, keras, dan kasar. Dengan rambut tak teratur rapi, rok miring, dan tangan yang merah. Dia berbicara dengan lantang ketika sedang membersihkan lantai di antara gemericiknya bunyi air. Namun terkadang, ketika suaminya sedang berada di kantor, dia duduk di samping jendela, dan mengenang malam yang indah yang telah berlalu dulu. Tentang pesta itu, di mana dirinya begitu cantik dan begitu memesona.

Apa yang terjadi seandainya dia tidak menghilangkan kalung itu?
Siapa yang tahu? Siapa yang tahu? Betapa kehidupan ini begitu aneh dan mudah berubah-ubah! Betapa mudahnya kita kehilangan sesuatu atau tetap memilikinya!
Namun, pada suatu hari Ahad, ketika sedang berjalan-jalan di Champs Elysees untuk menyegarkan pikirannya dari pekerjaan rutin selama sepekan, dia tiba-tiba mengenali seorang wanita yang sedang membimbing anak kecil. Wanita itu adalah Nyonya Forestier. Dia terlihat masih muda, cantik, dan tetap memikat.

Nyonya Loisel merasakan kepiluan di hatinya. Akankah dia mengajaknya berbicara? Ya, pasti. Dan sekarang karena dirinya telah melunasi semuanya, dia akan menceritakan kepada wanita itu tentang segala yang telah terjadi. Kenapa tidak?
“Selamat sore, Jeanne.”

Wanita itu disapa terperanjat atas keramahan dari seorang ibu rumah tangga yang sederhana itu, bahkan sama sekali tak dapat mengenalinya. Ia berkata gagap:

“Tapi, Nyonya, saya tidak kenal. Anda pasti keliru?”

“Tidak. Aku adalah Mathilde Loisel.”
Kawannya itu memekik kecil.
“Oh, Mathilde-ku yang malang. Kenapa kau bisa berubah sampai seperti ini?”

“Ya, aku telah melewati hari-hari yang berat, sejak aku mengunjungimu dulu, hari-hari yang sangat buruk. Dan semua itu karena engkau.”

“Karena aku?!” bagaimana mungkin?”

“Apakah kau masih ingat tentang kalung permata yang telah kau pinjamkan kepadaku dulu untuk pergi ke pesta di kementerian?”

“Ya. Lalu?”

“Yeah, aku menghilangkannya.”

“Apa maksudmu? Bukankah kau telah mengembalikannya?”

“Yang kukembalikan padamu dulu itu adalah gantinya yang benar-benar persis dengan itu. Dan untuk itu kami harus membayarnya selama sepuluh tahun. Engkau tentu tahu bahwa hal itu tidaklah mudah bagi kami, kami yang tidak punya apa-apa ini. Akhirnya berlalulah sudah, dan aku sangat senang.”

Nyonya Forestier menghentikan langkahnya.

“Kau mengatakan bahwa kalian telah membeli kalung permata untuk mengganti milikkku itu?”

“Ya, dan kau tidak pernah memperhatikannya! Kedua kalung itu memang benar-benar serupa.”

Dia pun tersenyum gembira dengan perasaan bangga dan naïf sekaligus.
Nyonya Forstier merasa sangat iba, dipegangnya kedua belah tangan temannya itu.
“Oh, Mathilde-ku yang malang! Mengapa? Kalungku itu hanyalah imitasi. Harganya paling mahal cuma lima ratus franc saja!”




SEORANG PENULIS DAN KOMPUTER TUANYA
Cerpen: dul abdul rahman

Larut malam. Lam bergegas memulai tulisannya. Ia harus menyelesaikannya ini malam. Besok ia harus kirim ke redaktur budaya di sebuah koran harian yang memesan tulisannya.
Tadi sore Lam harus menemani isterinya berbelanja bahan-bahan untuk membuat kue buat jualan esok hari. Isteri Lam memang berusaha meringankan beban suaminya dengan berjualan penganan di depan rumah mereka. Apalagi rumah mereka berhadapan dengan sekolah dasar sehingga anak-anak sekolah selalu menyerbu jualannya saban pulang sekolah atau istirahat.

Tadi petang, Lam harus mengawasi dan menemani putranya belajar matematika. Ia berharap kelak anaknya bisa kuliah di fakultas kedokteran, bukan di fakultas sastra seperti dirinya. Ia tidak tertarik mengarahkan anaknya jadi penulis. Sebenarnya Lam sangat mencintai profesinya, tetapi ia tak bisa menutup mata pendapat masyarakat tentang profesinya tersebut. Bahkan mertuanya dulu pernah mencapnya pengangguran. Lam ingat, ia geragapan menjawab pertanyaan dari calon mertuanya dulu tentang kantornya.

“S…saya tak punya kantor, Pak.”

“Lha, katanya sudah bekerja.”

“I…iya Pak, tapi…”

“Maksudnya kantornya digusur?”

“Memang sejak dulu tak punya kantor Pak.”

“Aneh!”

“Saya seorang penulis Pak.” Lam cepat menyebut jenis profesinya. Takut kalau calon mertuanya menyebutnya orang aneh. Padahal ia sangat mencintai anak gadisnya.

“Penulis?”

“Ya, saya seorang penulis Pak.”

Lam terus meyakinkan. Sementara calon mertuanya mengernyitkan alis seolah penulis bukan bagian dari profesi yang ia pahami. Ia memang seorang kepala desa yang selalu mengurusi KTP buat warganya. Selama ia menangani KTP, belum pernah ia melihat profesi seseorang tertulis penulis. Biasanya adalah dokter, pilot, polisi, guru, PNS, wiraswasta, petani, atau yang lainnya.

“Nak! Kalau profesi penulis itu tertulis apa di KTP, soalnya pada draft biodata KTP tidak ada penulis.”

Lam kian geragapan. Ia membatin tidak karuan. Ia ragu, calon mertuanya memang tidak tahu menahu soal penulis. Atau calon mertuanya sengaja mau menjebaknya bahwa ia benar-benar pengangguran. Lalu menolaknya jadi mantu. Dalam hati Lam menggerutu.
Lam tersenyum-senyum mengingat pengalamannya waktu melamar dulu. Untungnya, tempo itu ia bisa meyakinkan calon mertuanya bahwa meskipun ia cuma seorang penulis tapi ia yakin mampu menafkahi isteri dan anak-anaknya kelak.

Lam bergegas menyalakan komputernya. Tapi ia harus menunggu bermenit-menit. Mungkin komputer miliknya sudah mulai kelelahan. Ia sepertinya tak sanggup lagi mengikuti jejak-jejak pikiran Lam yang tidak dibatasi oleh makhluk yang bernama pentium.

“Yah! Apakah Lapundarek* jadi menikah dengan putri raja?”

Lam terperanjat. Kaget. Ternyata putranya belum jua tidur. Padahal tadi ia berhenti bercerita karena menyangka putranya sudah tidur. Sudah menjadi kebiasaan Lam mendongeng sebagai pengantar tidur anak-anaknya.

“Lapundarek menikah dengan siapa, Yah? Yang bungsu, yang tua, atau yang tengah.”

“Yang bungsu, Sayang.”

Lam segera melayani pertanyaan putranya. Ia memang selalu ingin tahu setiap cerita yang diutarakan ayahnya. Lam bahagia. Lam senang. Dengan bercerita, ia mencoba meningkatkan keingintahuan serta cara merespons anak-anaknya. Biasanya Lam membuat cerita bersambung laiknya sinetron di teve.

“Horeee! Lapundarek menikah dengan yang paling cantik.”

“Bukan hanya itu, tapi baik pula budinya.”

“Beruntung sekali Lapundarek ya, Yah?”

“Lapundarek kan orang tabah dan sabar.”

“Tapi Yah, masa putri raja yang cantik mau sama Lapundarek. Lapundarek kan jelek dan bau.”

“Hush! Tak boleh menghina.”

“Maaf, saya lupa. Lanjutkan ceritanya Yah!”

“Tidurlah sayang, besok malam ayah lanjutkan ya.”

“Tapi ayah harus janji.”

“Ayah berjanji, Sayang.”

Lam kembali menatap komputernya. Malam ini ia akan menulis tentang seorang penulis yang hidupnya pas-pasan. Meskipun demikian, sang penulis tersebut tetap setia pada profesinya. Mungkin Lam mencoba melukis dirinya lewat tulisan itu. Entah.
Lam terus memilih dan memilah kata yang tepat. Lalu merangkainya menjadi kalimat yang mendayu-dayu. Salah satu kelebihan Lam memang adalah penggunaan diksi yang benar-benar bisa mengharubirukan perasaan pembaca. Bahkan tidak sah rasanya membaca tulisan Lam tanpa ditemani sapu tangan penyeka airmata. Begitulah pengakuan salah seorang fans Lam.

“Istirahat dululah Bang!”

Kali ini suara isterinya yang lembut membuyarkan pikiran Lam. Tapi tidak masalah. Lam sangat mencintai isterinya. Bahkan sebentuk perhatian, pun pengabdian dari isterinya adalah sebuah inspirasi Lam untuk terus menulis.

Lam memang sangat beruntung. Ia bisa mempersunting anak kepala desa di kampungnya yang baik budi bahasanya, cantik pula. Mata bening isterinya, serta wajah yang ayu, senyum yang menawan selaksa sketsa Siti Nurhaliza, penyanyi dari negeri seberang yang memang menjadi idola Lam

“Tidak capeklah abang, Sayang.”

“Abang harus jaga kesehatan.”

“Abang sehat-sehat selalu, Sayang.”

“Tapi jangan terlalu memforsir diri Bang.”

Lam bangkit. Ia mengecup kening isterinya sebagai tanda sayang. Pun ia tak lupa mencium anak-anaknya yang sudah pulas terbawa cerita Lapundarek yang sangat mereka suka. Lam berharap, semoga orang-orang yang sangat ia cintai dan kasihi bisa istirahat dengan tenang. Pun ia tidak mendapat gangguan lagi supaya tulisannya bisa selesai ini malam. Honor tulisannya kali ini buat beli replika cincin pernikahan buat isterinya menjelang ulang tahun pernikahan yang kesepuluh.

Isteri Lam memang terpaksa menjual cincin pernikahan sebagai modal usaha jual-jualan. Sebenarnya isteri Lam tak pernah menuntut suaminya menggantinya, cuma Lam selalu ingin membuat isterinya bahagia.

Lam duduk kembali. Ia melanjutkan tulisannya. Di luar, angin malam berhembus pelan menyanyikan lagu alam. Malam merilis lirik buat Lam seirama dengan ayunan pulpennya.
Lam tersenyum-senyum. Tokoh utama dalam cerpennya ia beri nama Lampe. Lampe sebenarnya adalah nama bapaknya. Lampe dalam bahasa Bugis berarti panjang. Kakek Lam dulu memberi nama Lampe pada anaknya supaya panjang umur, panjang angan-angan(tinggi cita-cita), atau panjang rezeki(banyak rezeki). Selanjutnya ayah Lam memberi nama anaknya Lampugu. Meski nama Lampugu terkesan Bugis, tapi sesungguhnya meng-Indonesia, Lampugu berarti lampu penerang di gelap gulita. Itulah nama lengkap Lam. Dan begitulah orang-orang tua dulu memberi nama. Selalu terselip doa dibalik nama.

Sebenarnya yang membuat Lam tersenyum-senyum, karena yang ia maksudkan Lampe adalah diri Lam sendiri. Lam penulis. Begitulah nama Lampe versi Lam. Lam memang selalu mengangkat tema-tema berkenaan dengan dirinya sehingga banyak pembaca mencap dirinya sebagai penulis soliloquist.

Lam berhenti sejenak. Ada virus bergambar tengkorak mendadak mengangkangi tulisannya. Ia cepat memprogram program anti virus yang ia beli tadi. Klik. Gambar tengkorak menghilang seketika. Namun perasaan deg-degan Lam belum hilang. Ia takut datanya hilang.

Lam kembali melanjutkan tulisannya. Kali ini ia agak berhati-hati, tapi sedikit tergesa-gesa. Ia ingin secepatnya menyudahi tulisannya. Ia memang mengantuk dan lelah karena seharian menemani isteri dan anak-anaknya. Lam menutup cerita dengan kejutan-kejutan sekaligus menyedihkan.

Larut malam. Akhirnya, setelah dua jam lamanya Lam mengutak-atik kalimat menjadi paragraf-paragraf, tulisannya selesai jua. Meski Lam belum memberi judul, tapi ia yakin tulisannya kali ini benar-benar membuat pembaca terharu atas kegigihan dan ketabahan seorang penulis yang sangat mencintai profesinya, seluruh honor tulisannya buat isteri dan ank-anaknya yang ia sangat cintai. Dari cinta untuk cinta. Begitulah Lam mengangkat tema cerita kali ini.

Tapi mendadak Lam cemas. Virus tengkorak kembali mengangkangi tulisannya. Lalu. Klik. komputer Lam mati seketika. Lam mendadak lemas. Karena ia tahu datanya ini kali tidak terselamatkan. Komputer tua miliknya tidak bisa lagi mengamankan data-data bila mati seketika.

Lam beranjak. Ia masuk kamar. Mengecup kening isteri dan anak-anaknya. Lalu tidur di sampingnya. Besok ia akan mengetik ulang lagi cerpennya. Ada senyum mengembang di wajahnya. Karena ia sudah menemukan judul yang cocok buat cerpennya. Seorang penulis dan komputer tuanya.

Makassar-Jakarta, Juli 2007
Catatan: Lapundarek adalah cerita rakyat Sulawesi Selatan. Tokoh utamanya bernama Lapundarek yang bertampan buruk. Setelah ia berhasil mempersunting putri raja, ia terlepas dari kutukan. Lapundarek sebenarnya adalah pangeran yang dikutuk menyerupai monyet.
Sumber:
Harian Fajar 9 Desember 2007
www.sriti.com
www.fajar.co.id

Kamis, 13 Oktober 2011

K E M A R A U cerpen dul abdul rahman

K E M A R A U
Oleh: dul abdul rahman

Musim kemarau kali itu sangat panjang. Padahal bulan-bulan seperti itu biasanya hujan sudah datang. Hanyalah mendung yang sesekali datang menawarkan hujan lalu menghilang. Matahari terus bersinar seperti mata perempuan jalang. Bumi terus meradang. Tanah mulai gersang. Pohon-pohon meranggas sambil berdiri kaku seperti dirajam. Binatang-binatang nampak resah karena kepanasan. Rumput-rumput pun mengering seolah dipanggang. Pawang hujan sudah mulai bosan. Mantra-mantranya meminta hujan tak lagi mempan.

“Ini benar-benar kutukan Raksasa Bawakaraeng dan Lompobattang.”

Begitulah batin dan prasangka banyak orang. Mereka memang nampak gamang. Di kampung mereka berkali-kali terjadi keangkaramurkaan. Pun tragedi kemanusian. Jadi kemarau panjang bisa saja adalah sebuah peringatan bagi orang yang ber-Tuhan.

Meski demikian, petani-petani bersahaja Desa Tibona tetap sabar memelihara binatang ternak dan kebun-kebun mereka dengan hati lapang. Meski kemarau panjang membuat tanaman-tanaman mereka mengering, tetapi mereka berusaha menyiram tanaman. Walau mereka harus mengambil air yang jauh di Sungai Lolisan bahkan Sungai Pallangisang.
Di musim kemarau, bagi para petani hanyalah Sungai Lolisan yang menjadi tumpuan dan harapan. Untungnya Sungai Lolisan tetap setia menjadikan petani-petani bukan sebagai lawan. Airnya tidak pernah mengering walau terjadi kemarau panjang.

Warga Desa Tibona sangat percaya bahwa selama penghuni Sungai Lolisan yang berwujud buaya masih ada maka sungai itu tidak akan pernah kering kerontang. Buaya tersebut memang bukan buaya sembarang. Tetapi konon buaya jelmaan orang. Olehnya itu, untuk menghargai penghuni Sungai Lolisan sekaligus menjaga agar tidak terjadi abrasi, maka petani setempat pantang menebang pepohonan yang tumbuh dipinggir Sungai Lolisan. Tapi kebiasaan itu mulai dilupakan orang. Orang-orang sudah mulai berani menebang pohon di pinggir Sungai Lolisan dengan sembarangan bahkan serampangan.
Untungnya ada dua tokoh masyarakat bernama Lahajji dan Mattorang terus berkampanye bahwa warga harus menjaga pohon-pohon di sekitar Sungai Lolisan. Warga juga harus belajar menjaga pohon-pohon serupa masyarakat suku Kajang memperlakukan pepohonan di Tanah adat Kajang. Selalu begitu nasehat Lahajji dan Mattorang yang tiada pernah bosan memberikan peringatan.

Lahajji dan Mattorang memang bertekad untuk terus berjuang melestarikan lingkungan serta menjaga kampung halaman. Semangat dan tekad almarhum kedua kawan mereka bernama Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca terus menginspirasi mereka untuk terus berjuang.

Pesan-pesan menjaga kampung halaman dan lingkungan dari kedua almarhum temannya tersebut terus terngiang-ngiang di telinga Lahajji dan Mattorang. Bahkan Lahajji dan Mattorang terus menggalakkan LSM pada bidang lingkungan. Kampanye betapa pentingnya mencintai kampung halaman dan lingkungan terus digalakkan.

Lalu. Untuk menghormati jasa-jasa Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca sekaligus mengenang masa-masa persahabatan mereka yang indah dan menyenangkan, Lahajji dan Mattorang selalu mengunjungi makam kedua temannya tersebut saban hari Jumat pagi atau petang.

Pada suatu hari, bertepatan dengan hari Jumat. Di sebuah pemakaman khusus yang terletak di perbatasan antara kebun petani dan perkebunan karet, nampak Lahajji dan Mattorang sedang menabur bunga di dua makam yang saling berdekatan.
Keduanya nampak meneteskan airmata di depan kedua batu nisan tersebut. Keduanya memang tidak bisa menahan rasa haru mereka. Di tempat itu, tiga belas tahun yang lalu ketika Barra Tobarani mappaolli , mereka berempat berjanji akan melawan kaum bermodal yang ingin merampas kampung halaman mereka lalu menjadikannya sebagai lahan perkebunan.

Terkenang lagi akan kalimat berani Barra Tobarani kala itu, “Pokoknya tanah saya yang berbatasan langsung dengan pihak perkebunan akan menjadi perisai bagi tanah-tanah petani lainnya.” Dan sekarang itu bukan hanya tanah milik Barra Tobarani yang akan menjadi perisai tetapi juga jasad almarhum Barra Tobarani bersama jasad almarhum Sallasa Tomacca yang tertanam di tanah itu. Komitmen kedua almarhum temannya tersebut adalah komitmen mereka berdua serta orang-orang yang pro LSM Tobarani yang memperjuangkan nasib petani. Mereka akan terus menjaga dan memelihara komitmen tersebut. Bahkan ketika Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca telah tiada, semakin banyak petani yang bergabung dalam LSM Tobarani. Mereka adalah petani-petani pilihan yang berani melawan pihak mana pun yang selalu bertindak sewenang-wenang.

Tak jauh dari makam itu nampak pohon-pohon karet bergoyang-goyang oleh tiupan angin dari arah selatan. Saat itu goyangan pohon-pohon karet tersebut nampak lebih girang. Mereka seperti berdendang riang melihat kesedihan dua petani pejuang.
Lahajji dan Mattorang terus menangis di depan dua makam tersebut. Meski menangis, keduanya terus bersumpah untuk melanjutkan kiprah LSM Tobarani meski dua rekannya telah tiada. Bahkan sejak kedua rekannya tersebut gugur, Lahajji dan Mattorang dibantu oleh Mappiasse, Beddu Rassa, dan Sattu Sobbu terus melakukan pembelaan pada warga yang tanahnya akan diambil paksa oleh pihak perkebunan dengan sewenang-wenang.

Mereka juga terus melakukan pengusutan atas tragedi penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan mandor perkebunan yang menewaskan dua rekannya tersebut. Tidak tanggung-tanggung, Lahajji dan Mattorang bekerjasama dengan LSM yang sangat terkenal dari Jakarta. LSM itu terus membela kaum yang tertindas bahkan fokus membela orang-orang yang hilang karena sengaja dihilangkan oleh rezim orde baru yang tak mengenal rasa kasihan.

Sementara Lahajji dan Mattorang terus berdoa dan menangis di depan makam itu, terlihat tiga orang menuju makam itu juga. Tetapi ketika dilihatnya Lahajji dan Mattorang sedang menangis, mereka tidak sampai hati mendekat. Ketiga orang itu berencana meninjau lokasi makam Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca. Mereka bersepakat untuk memperbaiki makam kedua orang tersebut selayaknya sebagai makam para pahlawan.

Ketiga orang itu adalah Mappiasse, Beddu Rassa, dan Sattu Sobbu. Mereka bertiga memang mendapatkan rezeki yang melimpah tahun itu, hasil panen mereka berhasil tiga kali lipat daripada tahun-tahun sebelumnya. Rupanya Raksasa Lompobattang dan Raksasa Bawakaraeng terus menaungi hidup mereka yang selalu berbuat baik pada orang.
Tapi, baik Lahajji dan Mattorang maupun Mappiasse, Beddu Rassa, dan Sattu Sobbu tidak sadar kalau dari kejauhan ada juga orang yang memperhatikan mereka. Orang itu yang hanya datang seorang diri saja nampak pula meneteskan air mata. Yang membuatnya bersedih bukan karena kematian Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca, tetapi ia khawatir tak ada orang yang akan menangisi kuburannya ketika ia meninggal dunia kelak. Meski kala itu ia terkenal sebagai sosok dermawan, tapi ia selalu ragu kalau suatu waktu masyarakat akan tahu bahwa dirinyalah yang berhasil menembak mati para petani yang berani melawan pihak perkebunan.

Setelah kedua rombongan tersebut meninggalkan pemakaman itu, barulah lelaki itu yang sebenarnya adalah seorang mandor perkebunan bernama Mandor Lamakking mendekat. Ia lalu tertunduk di depan makam Barra Tobarani. Sambil menteskan airmata, mulut Mandor Lamakking komat-kamit, tetapi ia tidak berdoa melainkan meminta maaf atas kesalahannya pada almarhum Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca.

Kemarau kian panjang. Hujan enggan datang. Hanyalah mendung yang sesekali datang menawarkan hujan lalu menghilang. Matahari terus bersinar seperti mata perempuan jalang. Bumi terus meradang. Tanah mulai gersang.
Warga Desa Tibona pun saling bersilat lidah memberi jawaban.

“Raksasa Bawakaraeng dan Lompobattang memang sedang murka lalu menghalau hujan.”

“Inilah akibat sering terjadinya keangkaramurkaan.”

“Pun tragedi kemanusiaan.”

Rabu, 14 September 2011

novel terbaru dul abdul rahman: SARIFAH, Wanita yang Memilih Setia pada Pilihan Hidupnya

“Sebuah novel yang kaya konflik, bahkan muslihat, yang mampu menyeret setiap pembacanya untuk terus mengikuti alur kisahnya. Sebuah novel yang mengandung ajaran-ajaran hidup penuh kesetiaan dalam goda apa pun. Menarik sekali….”

(KH. D. Zawawi Imron; kiai, budayawan, penyair senior nusantara, yang tinggal di Madura)



Sampul belakang…

Barra Tobarani, Lahajji, Sallasa, dan Mattorang terus mempertahankan tanah dari pihak perkebunan PT Lonsum yang didukung pemerintah. Barra Tobarani berada di garis depan kemudian memprakarsai terbentuknya sebuah LSM demi membebaskan penduduk dari teror yang datang silih berganti. Tapi, usaha itu sepertinya selalu menemui jalan buntu.

Lamakking pun diutus oleh pihak perkebunan untuk menghalau Barra Tobarani dan kawan-kawannya. Lamakking sebenarnya bukanlah tokoh antagonis, tapi ia punya dendam pribadi terhadap Barra Tobarani. Ia tanpaa ragu menjalankan tugasnya demi membalas rasa sakit hatinya. Ia tidak peduli jika akhirnya dirinya hanya akan jauh lebih merasa sakit hati.

Novel ini membawa kita jauh menyeberang hingga Negeri Jiran, Malaysia. Konflik demi konflik datang silih berganti mewarnai perjalanan hidup Barra Tobarani dan Lamakking. Jika Barra Tobarani sibuk memperjuangkan tanahnya, maka Lamakking tidak kalah gigih dalam memperjuangkan cintanya pada Sarifah. Lalu, di mana konflik itu akhirnya berakhir? Kapan segala huru-hara berhenti untuk selamanya?

Temukan jawabnya dalam novel luar biasa ini!!!

Selasa, 23 Agustus 2011

cerpen dul abdul rahman LEBARAN DI SURGA

LEBARAN DI SURGA
Oleh: dul abdul rahman

“Mama! Lebaran nanti kita buat masakan yang enak kan.”

“Horeee…! Kita akan makan enak karena lebaran sebentar lagi.”

Selalu begitu celotehan si kembar Saribulang dan Saribanong kepada ibunya menjelang lebaran.
Kali ini Samintang menatap putri kembarnya nanar. Tangannya gemetar memegang surat dari suaminya yang dibawa oleh Bajide, teman seprofesi suaminya yang jadi TKI di Malaysia. Samintang berharap selain surat mudah-mudahan ada juga lembaran rupiah untuk membeli baju lebaran putri kembarnya, atau minimal pembeli daging untuk menu lebaran. Tapi ia ranap karena surat itu hanyalah berisi selembar kertas dan sebuah foto kusam suaminya. Hatinya kian ratap manakala ia baca surat suaminya yang tak bisa mengirim apa-apa karena setahun ia jadi TKI tapi belum menerima sepersen pun gaji. Katanya ia “dijual” oleh Taikong Lamakking yang membawanya ke Malaysia. Samintang yang mengira Malaysia adalah ladang emas, ternyata kini hanyalah ladang cemas baginya.

“Lebaran nanti kita masak apa?”

“Gulai ayam.”

“Gulai kambing yang lebih enak.”

“Gulai ayam yang lebih sedap.”

Celoteh putri kembarnya kian membakar kesedihan Samintang. Ia memang sudah menjanjikan kepada putri kembarnya untuk membuat masakan enak saat lebaran nanti. Janji ini sebenarnya hanyalah janji alibi ketika putri kembarnya merayu-rayu minta dibelikan baju baru.

“Mama! Aku mau baju baru seperti baju barunya Salma.”

“Mama! Kalau aku seperti baju barunya Salwa.”

Samintang terdiam sejenak. Ada kelam tiba-tiba menggantung di wajahnya ketika Saribulang dan Saribanong ingin dibelikan baju baru seperti baju baru milik Salma dan Salwa, putri kembar Haji Loppo yang seorang pengusaha sukses. Jangankan membeli pakaian apalagi pakaian mahal serupa pakaian Salma dan Salwa, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja Samintang terkadang harus pontang-panting mengutang sana-sini. Upahnya yang hanya sebagai tukang cuci harian tidaklah mencukupi, apalagi belakangan ini harga sembako kian melonjak sedangkan upah mencuci semakin menyusut. Samintang harus menerima kenyataan ini. Orang-orang yang tempatnya menggantung nasib tidak bersedia mempekerjakan orang lain untuk mencucikan pakaian mereka untuk menghemat kas keuangan rumah tangga akibat harga kian melonjak. Tapi Samintang tetap meminta dipekerjakan walau diupah seminim mungkin.

“Bagaimana Mama? Kalau Mama tidak suka model bajunya Salma dan Salwa lebih baik seperti model bajunya Rima dan Rina saja.” Saribulang mengusul diamini Saribanong dengan anggukan sambil sesunggukan.

Samintang masih terdiam. Tatapannya masih terus tertancap pada foto kusam suaminya yang tertawa lepas seperti menertawai dirinya sendiri yang sudah setahun bekerja di Malaysia tapi belum menerima gaji. Samintang seperti meminta jawaban dari suaminya atas permintaan baju baru putri kembarnya. Tapi sekali lagi Samintang hanya meranap ketika menyaksikan foto suaminya yang hanya memakai sarung yang ujung bawahnya menggelambir hingga ke lutut, serta baju dalam yang bolong-bolong dan sandal jepit yang bukan lagi pasangannya. Foto suaminya benar-benar sebagai surat non-verbal seorang TKI yang teraniaya di Malaysia. Kalaupun dalam foto itu suaminya tersenyum, tetapi sesungguhnya senyum itu semata-mata diperuntukkan untuk isteri dan putri kembarnya tercinta. Bukan pada yang lain.

“Gimana dong Ma? Masak mama tak suka model baju baru Salma dan Salwa.” Saribulang protes.

“Mama sepertinya tak mengikuti perkembangan mode, masak model bajunya Rima dan Rina juga tak disukai?” Si bungsu Saribanong ikut protes.

Samintang menarik nafas panjang. Ia menyimpan foto dan surat suaminya yang sama sekali tak bisa membantunya melepaskan diri dari jeratan dan jeritan kemiskinan. Ia lalu menatap kedua putri kembarnya dengan tersenyum. Seperti senyum suaminya. Senyum kegetiran. Kegetiran dari tirani kehidupan yang tak terperikan.

“Menurut Mama, model baju baru milik Salma dan Salwa juga Rima dan Rina tak cocok buat Nak Bulang dan Nak Banong. Kalian berdua masih nampak cantik dengan baju baru yang dipakai lebaran tahun lalu.”

Samintang berharap kedua putrinya percaya padanya. Lagian baju lebaran Saribulang dan Saribanong sudah diberi pewarna wantex sehingga warnanya terang cemerlang. Baju baru yang dipakai dua pasangan kembar yang disebutkan anaknya tadi hanya bisa ia beli dengan menabung semua upah mencucinya selama lima bulan. Baju baru Rima dan Rina juga semahal dengan baju baru Salma dan Salwa. Rima dan Rina adalah putri kembar Haji Lolo. Haji Lolo adalah adik kandung Haji Loppo yang juga saudagar sukses.
Kedua putri kembarnya terdiam. Samintang memang sangat senang karena kedua putrinya tidak banyak menuntut bila sudah diberi penjelasan. Kedua putri kembarnya memang seumpama dua bidadari kecil yang diutus Tuhan dari surga untuk menghibur kemiskinannya.

“Nah! Anak mama tercinta, meski nanti baju lebarannya tetap seperti lebaran tahun lalu tapi lebaran kali ini kita akan membuat masakan yang lebih enak.” Samintang mencoba menghibur kedua putri kembarnya yang terdiam karena tak bisa memakai baju lebaran model Salma dan Salwa.

“Hore…! Kita akan menikmati makanan enak.” Koor celotehan Saribulang dan Saribanong membuat Samintang tersenyum. Tapi cuma senyum dikulum. Karena di Bulan Ramadan kali ini tak ada pesanan pakaian untuk dicucinya. Padahal harga daging pun semakin mahal.

Sudah menjadi acara rutin setiap tahunnya menjelang lebaran, dua bersaudara saudagar sukses Haji Loppo dan Haji Lolo membagi-bagikan zakat kepada kaum duafa secara langsung. Mereka khawatir bila pembagian zakat lewat badan amil zakat yang sudah dibentuk pemerintah, zakatnya tidak akan sampai ke kaum duafa. Kalau pun sampai mungkin sudah terjadi penyunatan. Apalagi mereka membagikan zakat dalam bentuk rupiah. Naluri bisnis yang kuat dari kedua saudagar tersebut mencium gelagat bisa saja zakat itu diendapkan di bank dulu. Sayangnya, prasangka dari kedua saudagar tersebut terkadang tidak memikirkan faktor lain yang bisa mendatangkan mara bahaya. Bahkan prasangka negatif kepada badan amal zakat sesungguhnya dilandasi oleh keinginan mereka untuk membagikan sendiri zakatnya secara langsung. Mereka ingin menasbihkan kepada publik bahwa mereka adalah orang kaya.
Masih pagi ketika Samintang tiba di rumah Haji Loppo dan Haji Lolo, tapi ia masih kalah cepat dengan para calon penerima zakat lainnya. Meski acara pembagian zakat dimulai jam sepuluh tapi calon penerima zakat sudah berdatangan sejak jam enam pagi. Bahkan banyak calon penerima zakat yang berasal dari luar kota yang datang selepas shalat subuh. Mereka khawatir tidak kebagian zakat.
Samintang sangat berharap bisa mendapatkan zakat untuk membeli daging sebagaimana janjinya pada kedua putri kembarnya. Tapi sudah hampir empat jam lamanya Samintang menunggu, pembagian zakat belum dimulai. Samintang melihat orang-orang yang ingin menerima zakat terus berdatangan seperti ingin menonton acara dangdutan pilkada. Sambil menunggu, Samintang sedikit menggerutu. Mengapa ia harus antri berlama-lama dan berpanas-panasan menunggu zakat yang tidak cukup untuk membeli satu kilo daging sapi. Bukankah rumahnya hanya berjarak seratus meter dari rumah kedua Puang Haji tersebut. Samintang berandai-andai, andai dirinya kelak punya harta yang berkecukupan, ia akan mendata orang miskin di wilayahnya lalu membagikan zakat dari pintu ke pintu. Samintang akan mengikuti model badan amil zakat tapi ia juga tak bermaksud menyerahkan zakatnya pada badan tersebut karena pembagian zakat yang dilakukan badan itu menurutnya tak becus, buktinya meski ia tergolong orang miskin tapi tak pernah sekalipun mendapat zakat lewat badan zakat tersebut.

“Harap tenang! Pembagian zakat segera dimulai”

Pengumuman lewat pengeras suara membuyarkan angan-angan Samintang jadi orang kaya yang akan membagikan zakat. Haji Loppo dan Haji Lolo memberikan sambutan seolah mengundang Malaikat Raqib untuk mencatat amal zakatnya.

Pembagian zakat pun dimulai. Acara yang awalnya tertib tiba-tiba menjadi kacau balau karena orang-orang berebutan ke depan karena takut tak kebagian zakat. Samintang juga berusaha sekuat tenaga menembus ke depan agar janjinya kepada kedua putri kembarnya terpenuhi. Tapi tubuh Samintang mendadak lemas. Ia tak sanggup menahan himpitan kerumunan orang yang berdesak-desakan ingin menerima zakat. Tubuh ringkih Samintang tak sanggup melawan sibakan segerombolan penerima zakat yang sudah dilihatnya maju dua kali. Artinya ada sebagian orang yang sudah menerima pembagian zakat dua kali sedangkan Samintang belum bisa mencapai deretan bangku depan tempat Haji Loppo dan Haji Lolo membagikan zakat.

“Tenang! Tenang!”

“Semprot air!”

Aba-aba dari arah depan mencoba menenankan dan mendinginkan suasana. Tapi penetrasi dari orang-orang dari belakang kian tak terkendali. Samintang dan beberapa perempuan tua kian terjepit dan tak bisa bernapas. Samintang kian mengendap-endap. Cahaya matahari yang terik, apalagi ia sedang berpuasa membuat napasnya semakin megap-megap. Lalu. Samintang benar-benar tak sanggup lagi. Ia terjatuh. Lalu segerombolan penerima zakat yang ingin menerima dobel kian merengsek maju ke depan. Tubuh Samintang dan beberapa tubuh perempuan tua lainnya terinjak-injak.

“Bulang…! Banong...!”

Dalam sisa desah napasnya Samintang hanya bisa berteriak sebisanya memanggil kedua putri kembarnya tercinta. Lamat-lamat suaranya menghilang disumbat maut. Malaikat maut bergegas datang menjemputnya.


Di sebuah gubuk yang reyot. Dua bocah kecil Saribulang dan Saribanong ketiduran menunggui ibunya yang pergi menerima zakat di rumah Haji Loppo. Tiba-tiba keduanya terbangun.

“Kak, aku mendengar suara mama yang memanggil-manggil kita berlebaran di surga.” Saribanong menatap kakaknya.

Saribulang memeluk adik kembarnya dengan sesunggukan, karena ia juga terbangun karena panggilan ibunya. Keduanya berangkulan pilu sambil mengharap ibunya segera pulang ke rumah. Sementara itu, Malaikat maut yang pulang selepas menjemput ajal ibu kedua anak kembar tersebut memalingkan wajah ketika lewat gubuk reyot itu. Ia tak sanggup melihat tangisan kedua bocah itu bila mengetahui ibu mereka telah meninggal dunia.

Sabtu, 06 Agustus 2011

Tips menulis dul abdul rahman:

SIAPA ITU PENULIS?

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis,
ia akan hilang dalam masyarakat dan sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian…”
(Pramoedya Ananta Toer)

“Siapakah itu penulis?”

Penulis adalah orang yang menulis.

“Kalau tidak menulis?”

Tentu saja dia bukan penulis. Tapi kalau ia berniat menulis maka ia adalah calon penulis. Kalau ia tak pernah berniat menulis dan ingin jadi penulis maka ia bermimpi jadi penulis. Begitulah Kawan! Masakan ada penulis tapi tidak menulis. Makanya menulislah sekarang ini juga supaya kamu bisa disebut penulis.

“Bagaimana caranya menjadi penulis?”

Satu-satunya cara untuk menjadi penulis adalah dengan menulis hari ini juga. Ambil buku atau kertas dan pulpen, atau nyalakan komputer atau laptop Kamu, kemudian tuangkan isi kepala dan perasaan Kamu. Kalau kamu sudah menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Selamat ya! Kamu sudah berhak disebut sebagai penulis, Kawan. Penulis pemula.

“Apa-apa saja karakteristik dari seorang penulis?”

Banyak, Kawan. Diantaranya adalah seorang penulis juga adalah seorang pecinta bahasa.

“Kok penulis itu pencinta bahasa?”

Kalau Kamu mau jadi penulis maka Kamu juga harus pencinta bahasa. Kemampuan berbahasa menjadi syarat utama bagi seorang penulis. Bahasa tulis menjadi alat ekspresi utama bagi seorang penulis. Ini mutlak, Kawan. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kalau bahasa seorang penulis kacau, maka tulisannya juga cenderung kacau dan sudah pasti orang malas membacanya. Dan mungkin saja tak ada media cetak yang mau memuatnya, dan sudah pasti tak ada penerbit yang mau menerbitkannya. Sebaliknya jika bahasanya bagus, maka pembaca akan tertarik membacanya. Saya kira novel tetralogi Laskar Pelangi asyik dibaca karena kepiawaian Andrea Hirata mempermainkan kata-kata, kata-kata Andrea Hirata benar-benar menggoda dan terkadang menggelikan bagi pembacanya.

“So, gimana caranya supaya bahasa menjadi bagus?”

Ya harus dengan belajar, Kawan! Belajarnya bisa dengan banyak membaca puisi-puisi, judul lagu, judul film, pokoknya kalimat-kalimat yang indah seperti iklan-iklan yang bertebaran di jalan-jalan, ataupun di teve. Perhatikan dan rasakan keindahan dan keunikan kalimat-kalimat berikut:

- Pohon-pohon Rindu (judul novel dul abdul rahman)
- Ayat-ayat Cinta (judul novel Habiburrahman El Shirazy)
- Terus Terang Philip Terang Terus (iklan lampu neon merek Philip)
- Perempuan Berkalung Sorban (Judul novel Abidah El Khalieqy)
- Hujan Rintih-rintih (judul kumpulan puisi M.Aan Mansyur)
- Sabda Laut (judul novel dul abdul rahman)
Sekali lagi, Kawan, bahwa memang seorang penulis itu harus banyak membaca. Coba bacalah karya-karya yang baik serta pelajarilah cara mereka menggunakan bahasa. Baca dan pelajarilah bagaimana Jalaluddin Rumi mencipta bahasa yang sufistik, Kahlil Gibran mencipta bahasa yang syahdu dan merdu, Buya Hamka menggugah dengan kata-kata yang indah. Jangan lupa pelajari gaya Agatha Christy membuat kata-kata yang sangat menegangkan, atau gaya Guy de Maupasant membuat kata-kata yang lembut.

“Apalagi karakteristik dari seorang penulis?”

Penulis adalah pembaca yang baik.

“Katanya ada penulis yang malas membaca ya?”

Masak sih, kalau memang ada penulis yang malas membaca, jangan diikuti Kawan, pasti dia penulis musiman. Lebih baik kita mengikuti pendapat Robert Silverberg. Kata Silverbeg, ada tiga aturan sukses menulis, yaitu:
1. Banyak membaca
2. Banyak menulis
3. Banyak membaca lagi, banyak menulis lagi.
Nah kan? Makanya perbanyaklah membaca. Tak perlu juga ada persyaratan bahwa harus baca ini, harus baca itu, atau jangan baca ini, jangan baca itu. Bacalah buku atau apa saja yang kamu rasa tertarik untuk membacanya, bisa berupa majalah, koran, kitab suci, bahkan coretan dinding sekalipun. Cuma kalau boleh saya berpesan, kalau misalnya Kamu suka baca buku porno, tolong dibaca sembunyi-sembunyi saja ya, supaya hobi kamu tidak menular kepada yang lain, hehehe.
Begitulah kawan. Dengan banyak membaca, tentu saja Kamu akan mendapatkan setumpuk wawasan yang dapat merangsang munculnya ide untuk menulis. Dengan banyak membaca pula, ide-idemu selalu update. Ingat! Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Penulis yang produktif adalah pembaca yang rajin dan tekun.

“Masih adakah persyaratan lain supaya bisa disebut penulis?”

Nah masih ada Kawan. Publikasikan tulisanmu!
Ingatlah, Kawan! Kamu hanya bisa disebut sebagai penulis jika Kamu menulis. Dan tentu saja Kamu baru diakui oleh masyarakat keberadaanmu sebagai penulis jika tulisanmu sudah terpublikasikan dan masyarakat membacanya. Jadi jika tulisanmu sudah selesai jangan cuma disimpan di file komputer saja, kirimkanlah tulisan-tulisanmu ke media massa. Biarkanlah tulisan-tulisanmu dibaca oleh orang lain sehingga mereka mengakui bahwa Kamu adalah penulis.

“Bagaimana kalau tulisan yang kami buat cukup dipajang saja di blog pribadi?”

Boleh juga tuh. Tapi biasanya kalau media cetak yang memuatnya berarti ada tahap seleksi dulu, dan biasanya yang menyeleksi sudah punya pengalaman sebagai penulis. Kalaulah dipasang di situs-situs yang memang keberadaannya sudah diakui, itu tak masalah. Tapi seorang kawan penyair dari Makassar yang bernama M.Aan Mansyur berani “menggugat”, saya lihat puisi-puisinya nongol duluan di blog pribadinya sebelum nongol di Koran Kompas. Kamu bisa mengikuti gaya Aan, atau siapa saja.

“Apakah media cetak lebih diakui keberadaannya dari pada media internet?”

Nampaknya saat ini begitu, Kawan. Tapi karena teknologi sudah maju, hampir semua media cetak punya media online. Semua berita yang dimuat di media cetak juga di-online-kan. Ada juga media online sastra seperti www.sriti.com yang hanya memuat tulisan(cerpen) yang sudah dimuat oleh media cetak.

“Jadi sebaiknya sebuah tulisan itu dipublikasikan ya.”

Bukan sebaiknya lagi, tapi seharusnya. Karena publikasi sebuah tulisan adalah puncak dari proses kreativitas sebuah kepenulisan. Dan asal tahu saja kawan, bagi seorang penulis, tidak ada pengalaman yang paling berbahagia dan mengesankan kecuali saat tulisannya untuk pertama kali dimuat di media cetak, baik berupa koran, tabloid, maupun majalah. Dan ingat, Kawan! Biasanya publikasi tulisan perdana akan membuka jalan bagi dimuatnya tulisan-tulisan selanjutnya.
Buat saya Kawan, meski –alhamdulillah- ratusan tulisan saya baik cerpen, esai, maupun kritik sastra dimuat di berbagai koran lokal maupun nasional. Tapi sampai sekarang ini setiap kali saya melihat tulisan sendiri di media massa, hati saya selalu “berbunga-bunga” (kayaknya narsis abis ya kawan, hehehe). Tentu saja berbunga-bunga dalam arti saya bahagia, pun dalam arti saya akan memetik bunga uang lagi, maksudnya honor tulisan, Kawan. Hehehe…

“Bagaimana kalau tulisan kami dipublikasikan dalam bentuk sebuah buku?”

Wah! Itu artinya Kamu benar-benar sudah jadi penulis, kawan.
“Maaf, pertanyaan ini sedikit agak nyeleneh.”
Maksudmu, kawan?
“Apakah penulis itu bisa juga disebut artis?”
Artis? Haaa…

“Hidup memang perlu dijalani terus, dipahami atau tidak.
Maka aku pun bersyukur dengan keadaanku sekarang.
Memang aku tidak punya jabatan, tanpa uang berlebihan,
tapi kurasa sudah ada juga yang kuberikan untuk keluarga,
famili, masyarakat, bangsa, dan ummat.
Ya, buku-buku yang kutulis”
(Deliar Noer)

Dul Abdul Rahman. Bekerja sebagai sastrawan dan peneliti. Ia menamatkan pendidikan menengahnya di SMA Negeri Bikeru Sinjai Selatan pada 1993. Pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (1993-1998), Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar (2001-2002), Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (2004-2009). Aktif bersastra di Indonesia dan Malaysia.

Tulisan-tulisannya berupa karya sastra, kritik sastra, dan artikel budaya dimuat koran lokal dan nasional di Indonesia dan Malaysia. Buku sastranya yang sudah terbit:
1. Lebaran Kali Ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009).
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Novelnya yang segera terbit:
- Pohon-Pohon Meranggas
- Kupu-Kupu Bantimurung
- I La Galigo

Karya-karyanya dijadikan bahan penelitian oleh mahasiswa untuk meraih gelar sarjana bahkan pascasarjana. Novelnya Daun-Daun Rindu dijadikan bahan rujukan oleh banyak mahasiswa di Malaysia dari program diploma hingga doktoral untuk meneliti hubungan Indonesia-Malaysia.
Alamat surat elektronik: dulabdul@gmail.com. Atau emanarr@yahoo.com
Tips menulis dul abdul rahman:

APAKAH PENULIS HARUS BERBAKAT?

“Semua orang memiliki bakat.
Yang jarang dijumpai adalah keberanian untuk mengikuti
bakat itu ke lorong-lorong gelap yang dilaluinya.”
(Erica Jong)

“Apakah penulis harus berbakat?”

Bakat? Mengutip pendapat seorang pakar kepenulisan Erica Jong di atas, bahwa semua orang itu memiliki bakat, kawan. Jadi kamu juga punya bakat menulis kok. Tak percaya sama Erica Jong? Tak apa-apa, karena banyak penulis percaya bahwa sebenarnya untuk menulis tidaklah memerlukan bakat. Bakat hanyalah 5% saja, sedangkan 95% adalah kerja keras. Jadi intinya adalah berusaha, berusaha menulis, kawan. Masih ingat dengan pendapat Thomas Alfa Edison yang mengatakan bahwa, “Genius is 98 percent perspiration”(Jenius/kepandaian adalah 98% adalah keringat/usaha)?
Begitulah kawan, segalanya butuh usaha dan kerja keras, termasuk dalam menulis. Jadi tak usah peduli apakah kamu berbakat menulis atau tidak. Menurut saya, ketika kamu sudah punya niat untuk menulis artinya kamu sudah mulai mengenal bakat menulismu. Dan ketika kamu sudah mulai menulis maka saat itulah kamu menemukan bakat menulismu. Maka kembangkanlah terus bakatmu dengan terus menulis dan menulis, membaca, dan menulis lagi.

“Kalau bakat bukanlah merupakan faktor utama yang menentukan sukses seseorang jadi penulis, lalu apa?”

Motivasi dan keterampilan(skill), kawan. Jadi kalau seseorang punya motivasi untuk jadi penulis maka tentu saja ia akan menulis dan terus menulis. Jika ia terus menulis maka skill-nya semakin bagus sebagaimana pepatah mengatakan practice make perfect. Kalau dalam mempelajari bahasa ada istilah yang sering disebut language is only a habit, maka saya pun akan mengatakan bahwa dalam menulis juga ada istilah writing is only a habit. Begitulah kawan, menulis juga hanyalah kebiasaan. Tapi ingat! faktor skill juga bisa didapatkan dan dipelajari.

“Bagaimana caranya kami bisa mendapatkan skill menulis?”

Bacalah buku ini sampai selesai, Kawan. Semoga kamu bisa mendapatkan sesuatu, atau minimal kamu bisa membandingkan pengalaman menulis saya dengan pengalaman menulismu sendiri, pun pengalaman menulis orang lain.

“Tapi, apakah benar jadi penulis tidak diperlukan bakat?”

Mungkin saja seseorang itu punya bakat menulis, tapi siapa yang tahu ia punya bakat menulis ketika ia tidak menulis? Maka menulis sajalah supaya semua orang tahu bahwa kamu punya bakat menulis. Meskipun kamu merasa punya bakat menulis tapi selama kamu tidak menulis, maka tak ada seorang pun yang akan percaya bahwa kamu punya bakat menulis. Iya kan?

“Tapi bakat menulis itu sesungguhnya ada kan?”

Baiklah Kawan! Ternyata keingintahuanmu tentang bakat sangatlah besar. Bakat sebenarnya ada. Karena bakat itu ada, maka muncul istilah pemandu bakat atau pencari bakat. Tapi bakat itu tidak berarti apa-apa tanpa ditunjang oleh usaha dan kerja keras. Contoh: Si A punya bakat menulis 10%, sedangkan Si B hanya 2%. Si A berusaha menulis hanya 50%, sedangkan Si B berusaha keras sampai 98%. Lalu siapa dari keduanya yang paling sukses sebagai penulis? Tentu saja Si B karena hasilnya bisa mencapai 100%, sedangkan Si A hanya 60%. Faktor apa yang menentukan? Tentu saja usaha. Ya, yang menentukan adalah usaha, Kawan. Maka berusahalah kawan! Berusahalah untuk menulis!

“Kira-kira siapa penulis sekarang ini yang lebih mengandalkan usaha daripada bakat?”

Tadi kan saya sudah bilang bahwa tidak ada yang bisa mengetahui dan percaya kepada seseorang apakah ia berbakat menulis atau tidak berbakat sebelum ia menulis. Tapi baiklah, memang bakat biasanya dihasilkan dari garis keturunan. Dari asumsi ini, saya bisa mengatakan bahwa banyak penulis yang bukan berasal dari keluarga penulis. Mereka bisa menjadi penulis karena mereka menekuni sendiri dunia tulis-menulis. Mereka belajar dengan terus menulis serta membaca karya orang lain, termasuk belajar pada penulis-penulis(sastrawan) dunia yang terkenal. Mereka diantaranya adalah Goenawan Muhammad, Arswendo Atmowiloto, Mohammad Sobari, dan masih banyak lagi yang lain.
Dan asal tahu saja Kawan, bila bakat itu memang dihasilkan dari faktor keturunan, maka saya sendiri sesungguhnya tak berbakat jadi penulis sama sekali, tapi dengan usaha yang sungguh-sungguh maka alhamdulillah saya juga bisa jadi penulis sekarang ini, hehehe.

“Kalau Bang Dul merasa tak punya bakat jadi penulis,
lalu apa yang membuat Bang Dul yakin bisa jadi penulis?”

Sejak saya tahu mengaji, saya punya sticker favorit yang “menempel” di otak saya. Sticker itu bersumber dari Al Qur’anul Karim surah Ar-ra’d ayat 11 yang dalam Bahasa Indonesia berbunyi: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Dari sticker yang saya anggap “keramat” itulah Kawan, saya tidak peduli apakah saya berbakat atau tidak berbakat menulis, yang terpenting adalah saya berusaha menulis. Bahkan sticker itu seolah berbisik pada saya setiap kali saya mulai menulis, “Dul! Jangan percaya pada orang lain bahwa kamu tak berbakat menulis, percayalah pada dirimu sendiri bahwa kamu punya bakat menulis dengan mulai menulis sekarang ini juga!”

“Kalau begitu saya akan mulai menulis hari ini juga supaya orang lain percaya bahwa saya punya bakat menulis.
Lalu apa pesan Bang Dul pada kami hari ini?”

Menulislah sekarang ini juga supaya kamu disebut penulis. Pokoknya menulis saja dulu, tak usah takut dan sedih bila ada yang menyebut tulisanmu jelek. Seperti pekerjaan lainnya, menulis juga butuh proses.

“Bagaimana kalau esok saja baru kami mulai menulis?”

Artinya Kamu bukan penulis, Kamu hanyalah calon penulis.

“Jangan percaya pada orang lain bahwa kamu tak berbakat menulis, percayalah pada dirimu sendiri bahwa kamu punya bakat menulis dengan mulai menulis sekarang ini juga!”
(Dul Abdul Rahman)

Dul Abdul Rahman. Bekerja sebagai sastrawan dan peneliti. Ia menamatkan pendidikan menengahnya di SMA Negeri Bikeru Sinjai Selatan pada 1993. Pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (1993-1998), Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar (2001-2002), Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (2004-2009). Aktif bersastra di Indonesia dan Malaysia.

Tulisan-tulisannya berupa karya sastra, kritik sastra, dan artikel budaya dimuat koran lokal dan nasional di Indonesia dan Malaysia. Buku sastranya yang sudah terbit:
1. Lebaran Kali Ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009).
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Novelnya yang segera terbit:
- Pohon-Pohon Meranggas
- Kupu-Kupu Bantimurung
- I La Galigo

Karya-karyanya dijadikan bahan penelitian oleh mahasiswa untuk meraih gelar sarjana bahkan pascasarjana. Novelnya Daun-Daun Rindu dijadikan bahan rujukan oleh banyak mahasiswa di Malaysia dari program diploma hingga doktoral untuk meneliti hubungan Indonesia-Malaysia.
Alamat surat elektronik: dulabdul@gmail.com atau emanarr@yahoo.com

Selasa, 05 Juli 2011

SABDA LAUT, sebuah novel

Judul : Sabda Laut
Pengarang : Dul Abdul Rahman
Penerbit : Ombak (Yogyakarta)
Tahun Terbit : 2010
Tebal : V + 202 halaman
ISBN : 602-8335-52-5


SABDA LAUT (Sebuah Novel)
Dari tempat penjualan ikan, aku berlari sekencang-kencangnya menuju rumahku. Air Sungai Je’neberang yang mengalir menuju Laut Barombong juga seolah mengejarku, bahkan aku seperti mendengar bisikan Sungai Je’neberang, “Duhai lelaki penguasa hilir Sungai Je’neberang! Duhai lelaki Pantai Barombong! Berlarilah terus meraih impian dan cita-citamu! Jatuh bangun adalah hal biasa. Engkau harus bisa!”
Akhirnya aku tiba di rumahku dengan nafas yang tak sempurna. Seluruh kancing bajuku lepas satu-satu. Dadaku kembang kempis. Tapi aku tak peduli. Hanya ada satu tekad di jiwaku, “Hari ini aku akan pergi ke sekolah walaupun badanku masih bau ikan. Aku memang anak nelayan!”
Novel ini mengisahkan tentang cita-cita seorang anak nelayan bernama Samad. Ia bercita-cita menjadi pelaut professional dengan bersekolah di sekolah pelayaran yang biayanya sangat mahal untuk ukuran nelayan kecil seperti mereka. Namun cita-citanya kandas setelah ayahnya meninggal dunia. Namun Samad tidak patah semangat. Ia tetap bertekad bersekolah tinggi-tinggi sebagaimana pesan almarhum ayahnya.
Di novel Sabda Laut ini, DAR tetap bertahan pada ciri khas kepenulisannya, penuh dengan nuansa lokal. Berikut kutipan local wisdom yang dihadirkan oleh DAR:
“Manna majai tedonnu, mattambung barang-barannu, susajakontu, punna tena sikolannu.”6 (Biarpun banyak kerbaumu, banyak hartamu, kamu tetap akan susah bila tidak punya pendidikan) (Sabda Laut, 10)

PEREMPUAN POPPO, sebuah novel

Judul : Perempuan Poppo
Pengarang : Dul Abdul Rahman
Penerbit : Ombak (Yogyakarta)
Tahun Terbit : 2010
Tebal : V + 197 halaman
ISBN : 602-8335-48-7


PEREMPUAN POPPO (Sebuah Novel)
Novel ini menceritakan tentang seorang penulis bernama Lam yang sedang melakukan penelitian tentang poppo. Ia ingin menuliskan hasil penelitiannya dalam bentuk novel. Konon, poppo adalah seorang perempuan cantik yang memiliki ilmu khusus. Lam sangat bersemangat menulis novelnya tentang poppo tersebut. Seorang kawannya yang memiliki usaha penerbitan di Kota Yogyakarta memang akan menerbitkan novelnya dan akan langsung memberinya royalti tiga cetakan sekaligus. Kawannya tersebut sangat yakin bahwa novel tentang poppo akan laris manis. Lam sangat bahagia, karena dengan uang royalti tersebut maka tak lama lagi ia akan memiliki rumah sendiri. Namun ending novel tersebut sangat mengharukan karena isteri yang ia sangat cinta ternyata adalah seorang poppo. Lam baru mengetahui bahwa ternyata isterinya adalah poppo setelah isterinya meninggal dunia. Dan menyedihkannya, karena poppo yang ternyata isterinya dibunuh sendiri oleh Lam. Perempuan Poppo benar-benar sebuah etno-novel yang unik.
Di novel Perempuan Poppo ini, DAR pun menghadirkan local wisdom seperti kutipan berikut ini:
“Selain itu, Lam juga ingat pappaseng lainnya yang ditujukan pada dirinya sebagai laki-laki. Sebagi laki-laki, ia harus memiliki aju tellu, yaitu waju, ikkaju, dan aju-aju. Waju berarti pakaian, maknanya suami sanggup memberi kebutuhan pakaian dan rumah pada isterinya; Ikkaju berarti sayur, maknanya suami harus mampu memberi makan isteri; Aju-aju berarti simbol kejantanan pria, maknanya suami harus mampu menafkahi isteri secara batin.” (Perempuan Poppo, 113)

Judul : Daun-Daun Rindu
Pengarang : Dul Abdul Rahman
Penerbit : Diva Press (Yogyakarta)
Tahun Terbit : Juni 2010
Tebal : 308 halaman
ISBN

: 978-602-955-825-8


DAUN-DAUN RINDU (Sebuah Novel)
Novel ini merupakan sekuel dari Pohon-Pohon Rindu. Novel ini berkisah ketika Beddu Kamase berangkat ke Malaysia. Dul Abdul Rahman mengeksploitasi bagaimana suku Bugis-Makassar berangkat ke Malaysia dan menetap disana sehingga menjadi suku bangsa yang diperhitungkan. Novel ini berusaha mengungkap hubungan Indonesia dan Malaysia, sehingga novel ini seolah napas tilas pengembaraan suku Bugis-Makassar ke Malaysia.
DAR menghadirkan beberapa local wisdom di novel ini. Ia pun mengutip syair pasompe seperi berikut ini.
Pittek cina uala ranreng lopi
Jarung sipeppak uala balango
Nakusompek mua;
Somperennge uala paddaga-daga
Tasik-e uala lino pottanang
Lolangeng ri masagena-e;
Nalawa mua salaren riu
Nakuguncirik gulikku
Kuola mui telling-e natowali-e;
Dua sompe kupattinja
Dua guling kupattejjok
Dua balango kuppanngatta
Makkarewangeng maneng.
Artinya:
Benang cina kujadikan tali temali perahu
Jarum sebatang kujadikan jangkar
Aku berlayar jua;
Pelayaran kujadikan sebagai hiburan
Pelayaran kujadikan sebagai alam daratan
Pengembaraan yang penuh kebebasan;
Biar aku dihadang oleh angin topan
Aku akan putar kemudiku
Aku memilih tenggelam dari pada kembali;
Dua layar kusiapkan
Dua kemudi kutancapkan
Dua jangkar kusediakan
Semuanya akan turut terpasang.
(Daun-Daun Rindu, hal 13-14)

POHON-POHON RINDU, sebuah novel

Judul : Pohon-Pohon Rindu
Pengarang : Dul Abdul Rahman
Penerbit : Diva Press (Yogyakarta)
Tahun Terbit : Juni 2009 (Cetakan Pertama)
Tebal : 352 halaman
ISBN : 979-963-791-0




POHON-POHON RINDU (Sebuah Novel)
Novel ini mengisahkan bagaimana mencintai lingkungan. Tersebutlah sepasang kekasih bernama Beddu Kamase dan Andi Masniar yang saling mencintai. Mereka meresmikan hubungan cinta mereka di sebuah bukit yang gersang bernama Bulu Paccing di Kabupaten Sinjai. Mereka berjanji akan menjaga hutan dan lingkungan. Mereka saling berjanji bila kelak mereka berpisah dan saling merindukan maka cukuplah mereka menatap pohon-pohon atau hutan. Karena di pohon-pohon itulah akan menjelma wajah kekasih, wajah mereka. Pohon-pohon memang adalah simbol cinta mereka. Namun takdir memang sudah menghitung pasti usia manusia. Pada suatu ketika Andi Masniar meninggal dunia. Betapa sedih hati Beddu Kamase atas kepergian perempuan yang ia sangat cintai. Ia pun bertekad untuk menjaga hutan dan pepohonan. Karena hutan dan pepohonan adalah kekasihnya.
Di novel Pohon-Pohon Rindu ini, dul abdul rahman (DAR) menggunakan pendekatan lokal untuk menggambarkan bagaimana caranya menjaga lingkungan. DAR menjelaskan bagaimana suku Kajang menjaga hutan mereka.
“Masyarakat boleh menebang pohon di hutan tetapi harus ada izin dan pertimbangan dari Ammatoa dulu karena hutan dan pohon terkait pasang (peraturan adat). Pertimbangan dari Ammatoa mencakup jumlah, ukuran, tujuan penggunaan serta jenis kayu yang akan diambil. Masyarakat yang menebang pohon harus menggantinya, setiap penebangan satu pohon harus diganti dengan menanam dua pohon yang sejenis di lokasi yang ditentukan oleh Ammatoa. Masyarakat yang sudah diberi izin menebang pohon diawasi oleh orang-orang kepercayaan Ammatoa. Tetapi ada kawasan hutan yang tidak boleh ditebang pohonnya sama sekali yaitu borong karamaya,(hutan keramat)” (Pohon-Pohon Rindu, 194)

Selasa, 14 Juni 2011

LELAKI TAK PERNAH MANDUL
Oleh: dul abdul rahman

“Lelaki tidak pernah mandul.”
Selalu begitu ucapan Basir setiap kali ia ketemu denganku. Nadanya begitu provokatif seolah memecahkan gendang kelaki-lakianku. Entah, ia bermaksud menyemangati atau menyudutkan aku. Tetapi tetap saja wajahku bersemu merah.

“Jangan tersinggung dulu Bur, kalimat itu hanya kukutip dari kakekku.”

“Lalu?”

“Ya, aku setuju saja. Lihat sendiri kan, aku berumah tangga dengan Dinny selama tujuh tahun tapi tak punya anak. Dinny selalu menuduhku mandul. Tapi setelah aku menikah lagi dengan Hesty akhirnya aku bisa punya anak.”

“Maksudmu, kau menyuruhku menceraikan isteriku lalu menikah lagi?”

“Tak perlu Bur, bisa kok poligami.” Nada Basir semakin provokatif seakan ingin memproklamirkan bahwa dirinya benar-benar pejantan tangguh.

Meski pernyataan-pernyataan Basir hanya kuanggap angin lalu. Tetapi tetap saja berarak di langit-langit akalku. Lalu menjelma hujan, membasahi hatiku, membasahi hati isteriku, membasahi kerinduan kami akan hadirnya buah hati perekat tali kasih.

“Bagaimana Bur? Lelaki boleh kok punya lebih dari satu isteri.” Basir meruntuhkan lamunanku.

“Kata siapa?”

“Kata laki-laki.”

“Kalau kata perempuan?” Sergahku.

Basir hanya tergeragap. Walau kami sesama lelaki dan bersahabat sejak masih kuliah dulu, tetapi banyak pendapatnya tentang perempuan yang aku kurang setuju. Ia memang begitu mudah meluluhkan hati perempuan. Perempuan manasih yang tidak tertarik pada Basir. Selain wajah cakep, pun harta warisannya tidak akan habis dimakan sampai tujuh turunan.

Aku memang tidak pernah setuju dengan omongan Basir. Buaya darat yang selalu lupa daratan. Yang menganggap perempuan hanyalah tempat persinggahan yang bisa didatangi kalau rindu menggoda, dan ditinggalkan pergi begitu saja kalau rasa bosan datang menyergap. Tidak. Aku tidak akan pergi meninggalkan isteriku walau sementara, apalagi harus menceraikannya. “Bedebah Basir, buaya darat.” Umpatku dalam hati.
Tak mungkin aku menyakiti isteriku. Aku mencintainya. Teramat mencintainya. Tak sia-sia rasanya aku mengejar-ngejarnya selama dua tahun demi mendapatkan sekerat cintanya yang menurutku tidak akan basi dihembus waktu yang beraroma perselingkuhan yang saat ini makin trend.

Safitri. Isteriku tercinta. Memang cantik luar dalam. Blasteran Arab-Ambon. Meski sedikit berkulit gelap tapi manisnya melebihi madu Arab. Soal kesetiaan jangan ditanya lagi. Selama sepuluh tahun kami berumah tangga, tak pernah aku melihat mendung di wajahnya. Tak pernah aku menatap bola api di matanya. Tak pernah ada resah, apalagi keluh kesah yang menghiasi bibirnya yang selalu basah. Isteriku memang bukan sembarang perempuan. Senyumnya kembang segala bunga. Ia tetesan dari taman surga, taman dari segala harum bunga.

“Bang! Kita harus selalu bersabar ya, boleh jadi Allah belum menitipkan buah hati kepada kita berdua karena Dia masih ingin menguji kesabaran dan kesetiaan kita.” Isteriku selalu meredakan kegelisahanku dengan nadanya serupa cericit burung di pagi hari.

“Terima kasih sayang, betapa kau begitu berarti buatku.” Aku terus membelai-belai rambutnya yang semerbak. Sesekali aku menutup bibirnya dengan bibirku. Protes cecak di dinding yang ber-ck..ck..ck tak aku hiraukan. Peduli amat. Kami sudah menikah kok. Sejak menikah, memang aku tak pernah membiarkan malam berlalu tanpa bait-bait kemesraan. Aku tak pernah membiarkan pagi menyapa tanpa lakon-lakon asmaradana. Tetapi tetap saja cecak bertingkah di dinding seolah-olah bersekutu dengan Basir menertawaiku. “Payah Bur, menanam terus tiap hari, tapi tak pernah ada yang tumbuh. Dasar petani mandul.”

Yang aku kurang sependapat dengan Basir hanyalah soal perempuan saja. Meski aku sering mengutuknya karena komentar-komentarnya tentang perempuan yang terlalu menyudutkan, apalagi aku yang sangat mencintai dan menghormati sosok ibuku dan isteriku. Terkadang aku melihat komentar-komentar tersebut ada pula sisi realnya, cuma aku tetap mengedepankan sisi kesetiaan. Aku memang alumni Fakultas Sastra, sedangkan Basir alumni Fakultas Ekonomi. Tapi aku tak pernah berpikir bahwa Fakultas Sastra itu lebih “setia” daripada Fakultas Ekonomi.

Sebenarnya aku cukup mengagumi sosok Basir. Meski masih muda, tetapi jiwa entrepreneur-nya sungguh luar biasa. Usaha yang dikelolanya berkembang pesat. Ia juga sangat memperhatikan kesejahteraan para karyawannya. Ia pun sosok yang sangat merakyat di mata karyawan. Dan karyawannya yang teristimewa tentu saja adalah aku. Aku adalah tangan kanan di perusahaannya. Pertemanan kami sejak kuliah tak pernah berubah. Kami tetap saja menyapa dengan nama masing-masing tanpa embel-embel kata pak, kecuali dalam pertemuan-pertemuan formal. Dan gelarnya sebagai buaya darat cap kampus yang pernah kusematkan padanya sewaktu kuliah dulu sepertinya tetap lestari. Tetapi yang kukagumi ia tak pernah macam-macam pada karyawannya. Padahal aku tahu, ia punya sekertaris yang masih muda dan cantik sekaligus primadona di kantor tersebut, namanya Indri. Aku juga mengaguminya, hanya sebatas itu.

“Begitulah aku Bur. Sejak dulu memang prinsipku begitu, ya lelaki tak pernah mandul,” Basir mulai lagi memprovokasi. Aku hanya terdiam.

“Begini Bur, supaya kau tak berpikiran macam-macam tentang kakekku, akan kujelaskan makna kalimat tersebut. Kakekku selalu mengucapkan kalimat ‘lelaki tidak pernah mandul’ hanya untuk menyemangatiku. Maksudnya kita sebagai lelaki harus terus dan terus berusaha, pantang menyerah. Laki-laki adalah tumpuan keluarga. Dan aku pikir berkat semangat dari kakekku itu pulalah aku bisa seperti sekarang ini.” Kali ini kata-kata Basir begitu bijak dan menyemangati.

“Tetapi kau selalu mengaitkan filosofi itu kepada perempuan,” ujarku seperti tidak percaya seratus persen omongan Basir.

“Apa salahnya Bur? Bukankah salah satu alasan utama menikah untuk mendapatkan keturunan? Coba bayangkan Bur, kalau nanti kau jadi kakek-kakek, siapa yang akan mengurusimu. Ponakan? Saudara? Paling-paling mereka hanya menginginkan hartamu.”

Basir beranjak pergi setelah menghunjamkan kata-katanya di dadaku. Dalam kesendirian aku hanya termangu. Terpekur. Sejurus kemudian pandanganku gelap, tetapi sekilas ada seberkas cahaya yang diam-diam memantul di dinding-dinding kalbuku. Adapula desiran angin perlahan-lahan menyejukkan batinku lalu menjelma jadi tangisan bayi yang teramat aku rindukan.

Karena aku tak mau lagi Basir terus mengaduk-aduk perasaanku dan menggerogoti kesetiaanku pada isteriku. Akhirnya aku bermufakat dengan isteriku untuk mengadopsi anak.

“Aku terserah Abang saja, aku sangat percaya dan sayang sama Abang,” ujarnya sambil memamerkan senyum simpulnya yang selalu membuat perasaanku berdesir-desir.

“Demi kau yang teramat kucinta, apapun bisa kulakukan yang penting halal.” Aku menarik dan memeluk tubuh isteriku. Cecak yang selalu bertingkah setiap aku bermesraan dengan isteriku entah kemana. Mungkin ia telah bersepakat dengan Basir untuk tidak menertawaiku lagi. Atau mungkin ia mengira aku sudah masuk dalam perangkapnya. Bah!

“Tapi Bang, aku ingin kita punya anak sepasang ya, laki dan perempuan.” Isteriku nampak bahagia sekali, seolah bayi sudah ada dalam gendongannya. Akh!
Basir begitu bersemangat ketika kuceritakan bahwa aku dan isteriku bersepakat untuk mengadopsi anak. Setiap ada permasalahan memang selalu aku terbuka padanya. Ia pun selalu terbuka padaku.

“Ok Bur, aku mengagumi kesetiaanmu pada isteri, sungguh beruntung isterimu bersuamikan denganmu.” Basir mengangguk-angguk seolah-olah apa yang kuungkapkan padanya adalah sebuah proyek besar.

“Aku sangat mencintai Safitri, Basir. Aku tak akan pernah meninggalkannya.”
Basir terus mengangguk-angguk seolah-olah ia pemenang tender dalam sebuah proyek.

“Baik…baik…Bur. Tapi ingat, tak boleh asal mengadopsi anak. Anak yang diadopsi harus ada pertalian darah denganmu.”

“Tolong aku ya Basir, yang penting aku dan isteriku bisa punya anak, walau hanya anak adopsi.”

“Baik! Jangan khawatir Bur, serahkan padaku. Aku akan mencarikan jalan terbaik.” Basir melipat map-nya seperti dana proyek sudah cair. Selanjutnya kami berdua hanya bersitatap. Lalu tersenyum. Hanya kami berdua yang bisa memaknai senyuman itu.

Bayi perempuan itu berhidung mancung. Berkulit putih. Bermata tajam. Berambut lurus. Dalam tangisnya ia tersenyum teramat ikhlas padaku.

“Bang! Anak kita cantik ya, pintar sekali abang mencari anak adopsi ya, akh aku tak akan pernah bilang lagi anak adopsi, anak kandung ya.” Isteriku terus menggendong bayi mungil itu. Laiknya seorang ibu, ia terus berkicau dan berkicau. Tak pernah kulihat sebelumnya isteriku sebahagia ini.

“Mmm…lihat Bang! Hidung dan matanya mirip sekali hidung dan mata Abang.” Isteriku mengecup kening bayi itu sambil melirikku mesra sekali.

Aku tergeragap. Namun cepat aku menguasai keadaan. Aku tersenyum. Lalu mendekat dan mencium kening isteriku. Mataku basah. Mata isteriku juga basah.
Isteriku tidak mengetahui asal-usul bayi tersebut. Menurut Basir, sebaiknya seorang ibu tidak usah mengetahui asal-usul bayi yang diadopsi, karena bisa saja rasa sayang ibu berkurang apabila mengetahui siapa sebenarnya bayi tersebut.
Anak yang ada dalam gendongan isteriku sebenarnya adalah anak dari teman sekantorku. Indri memang sudah menikah dengan seorang pria beristeri. Ia rela dijadikan isteri kedua. Sayang, takdir berkata lain. Sesaat setelah melahirkan anaknya, ia meninggal dunia. Seluruh teman-teman sekantor Indri sangat berduka cita. Dan entah, akulah yang merasa paling bersedih atas kepergiannya.

Bayi itu tumbuh sehat dan lucu. Isteriku sangat mencintainya. Terang saja aku teramat bahagia. “Abang! Sejak dulu kan aku pingin sekali punya sepasang anak.”

“Isteriku sayang, kalau aku sejak dulu ingin punya sebelas anak, satu kesebelasanlah.” Ujarku setengah menggodanya.

“Kalau begitu Abang boleh menikah lagi.” Ujar isteriku cemberut sambil membelakangiku.

“Sayangku! Aku hanya menginginkan anak dari rahimmu.”

Isteriku berbalik kearahku. Matanya berkaca-kaca. Rupanya ia terluka dengan kata-kataku yang seolah-olah menagih anak dari rahimnya. “Aku ikhlas Abang berpoligami.” Hujan semakin membadai di matanya.

Aku memeluk isteriku. “Sayangku, untuk apa aku berpoligami? Aku sudah punya isteri yang cantik dan setia, pun punya seorang anak perempuan yang cantik nan jelita.”
“Tapi bukan darah daging sendiri?”

“Sayangku, yang namanya anak tetap anak, tak perduli anak apa namanya. Hakekatnya sama, pertanggungjawaban dihadapan Allah tetap sama.”

Isteriku terus terisak di pangkuanku.”Abang adalah sosok yang sempurna buatku, aku sebenarnya tak pernah rela kalau Abang berpoligami, aku cuma ingin mengetes kesetiaan Abang.”

Sekali lagi aku tergeragap. Cepat aku menguasai keadaan. Aku terus memeluk isteriku. Aku teramat bahagia. Aku mengecup keningnya berkali-kali. Mataku basah. Lalu mataku semakin basah saja ketika aku mengecup kening putriku, aku terkenang akan ibu kandungnya yang telah meninggal dunia, isteriku sendiri.

Kendari-Makassar, 2006