Kamis, 24 Februari 2011

CERPEN dul abdul rahman: W A R I S A N

WARISAN1
CERPEN: dul abdul rahman

Meski malam baru saja menghalau cahaya siang, namun kali ini terasa sunyi sekali. Mendung yang sedari sore datang menyapa sepertinya enggan menyentuh kulit bumi. Hanya sesekali terdengar titik hujan gemercik malu-malu di atap seng yang mulai berlubang. Sayup-sayup terdengar gemerusuk daun-daun tertiup angin. Affif Hopping terjaga. Matanya awas memandang sekelilingnya. Beribu macam gelisah bercampur sesak bergemuruh di dadanya.
Affif Hopping memandangi adiknya Sitti Delicia. Adik satu-satunya yang menjadi pengharapannya. Andai bukan karena adiknya, mungkin ia telah mengakhiri kembara hidupnya. Ia teramat lelah.
Gemuruh hati Affif Hopping seirama dengan gemuruh angin barubu dari arah Gunung Bawakaraeng. Matanya tertuju pada sebilah keris tua peninggalan ayahnya yang terselip di dinding. Lalu ia pandangi wajah adiknya yang sangat mirip almarhumah ibunya, Radevi. Ibu yang selalu mendekapnya sambil mendendangkan irama lagu khas tanah Ambon. “Aku tak mungkin melukai ibu,” gumamnya.
Affif Hopping kembali menatap keris berhulu tanduk kerbau itu. Ia menengadah sambil menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya, wajah yang mirip almarhum ayahnya, La Beddu. Ayah yang selalu bercerita setiap menjelang tidur. Cerita tentang kakeknya yang mempunyai empat puluh isteri. Cerita yang unik karena kakeknya menikahi seekor kerbau sebagai isteri terakhir kemudian menyembelihnya sebagai ungkapan nazar. Kemudian cerita kasmaran Sawerigading yang mencintai I We Tenriabeng. Cerita cinta Romeo dan Juliet yang melegenda. Dan yang tak kalah mengharukannya kisah percintaan antara ayah dan ibunya. “Tidaaak, aku tak mungkin melukai ayah, aku sangat mencintai ayah,” gumamnya sekali lagi.
Gemuruh dalam dada Affif Hopping belum juga reda, namun kali ini ia mulai ragu menancapkan matanya pada keris tua itu. Ia melekatkan matanya pada bingkai foto kedua orang tuanya. Bingkai yang juga penggambaran dirinya dan adiknya.
Affif Hopping mencoba menarik nafas panjang. “Akh pantas saja ayah tergila-gila pada ibu, ibu sangat memesona. Sorot matanya polos, tak ada api pencipta segala benci. Senyumnya ikhlas, tak ada dusta pencipta segala derita. Wajahnya yang keibuan laksana danau jingga, tempat berlabuh segala hati yang resah.”
Gemuruh dalam dada Affif Hopping sedikit mereda seirama dengan angin barubu yang tak mampu menerobos Gunung Lompobattang. Puas memelototi potret ibunya, ia merasa tak adil kalau tak singgah ke potret ayahnya, namun ia merasa sangat malu ketika melihat sosok ayahnya tersenyum meski goresan-goresan kesedihan bias di wajahnya.
“Akh pantas saja ayah didaulat sebagai pelanjut marga kakek meski saudara-saudara ayah banyak yang cemburu. Ayah sangat mencintai dan mengasihi istri dan anak-anaknya. Ayah sangat bertanggung jawab. Sebagai anak sulung, ayah sosok yang mandiri dan tak bergantung pada kakek. Kadangkala memang ayah nampak egois tapi alasan ayah demi kebaikan kami. Ayah juga adalah sosok pencinta sejati, cinta ayah pada ibu tak pernah pudar meski gelombang-gelombang kehidupan yang menerpanya laksana Tsunami. Menurut cerita ibu, ia menerima cinta ayah setelah dua tahun ayah terus mengejarnya, sungguh sebuah perjuangan.”
Affif Hopping tak sekalipun berpaling dari bingkai foto kedua orang tuanya. Keris yang sedari tadi mengacaukan pikirannya tak digubrisnya, sementara wajah adiknya dan wajahnya sendiri telah menyatu dengan potret kedua orang tuanya.
“Ayah juga sosok yang sangat matang dalam perencanaan, sebelum menikah dengan ibu, ia sudah punya persiapan nama untuk anak-anaknya. Affif Hopping kata ayah bermakna harapan untuk berubah, Sitti Delicia, mungkin nama itu sangat berkesan di hati ayah ketika kuliah dan jatuh cinta pada ibu dulu. Ketika kutanya mengapa nama kami ke-Inggrisan, ayah menjawab bahwa itulah awal perubahan. Akh! Ayah.”
Tiba-tiba gemuruh di dada Affif Hopping berkecamuk lagi ketika ia mencoba menelusuri bait-bait kehidupan kedua orang tuanya. Dan inilah segala pangkal gelisah yang kadangkala membuat mata hatinya tak mampu menangkap cahaya.
“Ayah menikah dengan ibu tanpa persetujuan keluarga ayah. Keluarga ayah terlalu mendewakan marga. Namun cinta ayah pada ibu sekokoh Gunung Bawakaraeng yang tak pernah berpisah dari Gunung Lompobattang. Ayah memilih menikah tanpa taburan beras warna warni. Ayah dan ibu memilih hidup terkucil dari segala simbol kehidupan dengan beribu macam sabda tabu dan pamali. Ayah tak pernah menyesal.”
Affif Hopping mencoba memejamkan mata. Ia mencoba menghapus segala bayang-bayang duka yang melintas di benaknya ketika orang tuanya dibantai oleh warga atas perintah keluarganya. Ayah dianggap telah mencemarkan nama baik marga. Namun ada tanda tanya menggelayut di benak Affif Hopping. Mengapa warga membiarkan adik dan dirinya hidup? Beribu macam pertanyaan bercampur gelisah mulai berkecamuk di benaknya.
Affif Hopping mencoba membuka matanya sambil berharap ada bayangan cerah hinggap di benaknya, “Andai saja Haji Bandu adalah orang tuaku.” Pikirannya hinggap pada tokoh anutan di kampungnya, seorang guru barzanji yang mempunyai ratusan ekor ternak. Lalu ingatannya kembali hinggap pada sosok Petta Bodde, kepala adat pengganti kakeknya yang tak pernah bijak dalam bertitah.
Angin barubu yang sedari tadi meliuk-liuk mencari celah menembus Gunung Lompobattang mulai mengamuk. Ia merobohkan segala pohon-pohonan yang dijumpainya seirama dengan gemuruh dalam dada Affif Hopping yang tak mampu menyingkirkan berkilo-kilo batu gunung yang menggelinding di benaknya.
Ada kengerian yang menyeruak ke dalam benak Affif Hopping, matanya terbelalak memandangi potret kedua orang tuanya yang tiba-tiba memegang keris dan siap menghunjam ke dada mereka sendiri.
Affif Hopping melompat dengan sejuta harapan. “Aku harus menyelamatkan marga ayah. Aku harus menjunjung marga ibu,” pekiknya tertahan.
Namun keris telah terhunjam pada potret kedua orang tuanya. Wajah garang penuh kebencian Haji Bandu dan Petta Bodde yang notabene adalah pamannya sendiri dibantu oleh warga desa telah menyatukan potret kedua orang tuanya, adiknya dan dirinya. Sambil mengikhlaskan darah muncrat dari dadanya, ia komat-kamit, ada senyum mengambang di bibirnya, ada rona bahagia menghiasi wajahnya karena kembara kepedihannya telah berakhir tanpa melukai kedua orang tuanya. Senyumnya telah menyatu dengan senyum kedua orang tuanya yang sangat ia rindukan. Inilah malam yang terakhir sekaligus malam terindah buatnya.

Sinjai, Juni 2005

1. Cerpen ”WARISAN” dimuat Harian Fajar, Ahad 17 Juli 2005


Jumat, 18 Februari 2011

cerpen dul abdul rahman: SPANDUK KERTAS

SPANDUK KERTAS
Cerpen: dul abdul rahman

Sebentar lagi pemilihan kepala desa diadakan. Geliat spanduk berkejaran dengan iklan rokok benar-benar telah menyesaki jalanan di pusat desa. Gambar-gambar para kandidat berukuran raksasa mengumbar senyum, seolah menyapa siapa saja yang lewat.
“Bersama kami pendidikan gratis.”
“Pemimpin yang jujur dan amanah.”
“Saatnya kita berubah.”
Begitulah teriakan-teriakan spanduk tanpa lelah mewakili para kandidat kepala desa. Ada juga spanduk berlarian bersama mobil-mobil pribadi, angkutan umum, pun truk-truk yang lalu lalang mengangkut bahan bangunan. Di desa itu benar-benar dilanda demam pilkades, laiknya demam piala dunia, pembicaraan tentang siapa yang paling pantas jadi kepala desa terdengar dimana-mana. Di pasar-pasar, pemandian umum, pun di rumah-rumah penduduk.
“Sudahlah Ma, kita pilih saja Pak Tore.”
“Kita pilih saja Pak Tahir, Pak. Beliau kan sudah turun temurun memimpin desa ini.”
“Lebih bagus Pak Tore.”
“Lebih bagus Pak Tahir.”
Sepasang suami isteri pun tak kalah ramainya memperbincangkan pilihan mereka. Masing-masing berargumen pilihan merekalah yang lebih patut dan bagus.
“Tidak Ma. Pak Tore kan sudah sarjana, lagipula ia sangat peramah. Kalau Pak Tahir kan orangnya pemarah.”
“Tidak Pak, justru Pak Tore lah yang pemarah. Sekarang ia memang peramah demi menarik simpati masyarakat.”
“Tapi….”
“Sudahlah Pak! Pak Tahir kan sudah berpengalaman memimpin desa ini.”
“Tapi, Pak Tahir kan sudah lama jadi kepala desa Ma, katanya kekuasaan yang terlalu lama cenderung korupsi.”
“Papa! Jangan terhasut. Itu cuma teori Pak Tore untuk menggembosi Pak Tahir.”
“Mama!”
“Begitulah Pak.”
“Mama curang.”
“Papa yang curang.”

Ramai orang berkumpul di kediaman Pak Tore. Pak Tore memang lagi mengkonsolidasikan tim kampanye. Ia sangat berharap bisa jadi kepala desa di kampungnya. Pak Tore selalu memanfaatkan setiap peluang yang ada. Namun sampai saat ini, ia belum memperoleh satu pun jabatan yang ia inginkan. Setelah gagal jadi anggota dewan perwakilan rakyat daerah, ia mencoba lagi peruntungan selanjutnya, kepala desa.
“Baiklah! Hadirin yang kami muliakan, sebagai ketua tim pemenangan pilkades, saya menunjuk Pak Sam. Saya pikir Pak Sam mampu mewujudkan keinginan kita semua.” Pak Tore mengumumkan tim suksesnya.
“Setuju! Setuju!”
Koor peserta rapat memberi aplaus. Sementara Pak Sam hanya tersenyum-senyum. Keyakinan terpancar di wajahnya. Ia memang punya massa yang banyak. Hanya satu kendala baginya. Ia harus meluluhkan hati isterinya yang punya massa yang banyak pula yang sudah terlanjur jadi pendukung utama Pak Tahir. Pak Sam dan isterinya memang berbeda partai.
“Bagaimana kalau kita meminta kesediaan Pak Sam dulu.” Seorang peserta rapat mengusul.
“Baik! Kita persilakan Pak Sam.” Pak Tore merespons peserta rapat.
“Saya selalu siap memenangkan Pak Tore.” Pak Sam berapi-api.
“Hidup Pak Tore!”
“Hidup Pak Sam!”

“Hidup Pak Tahir!”
“Semoga Pak Tahir terpilih lagi!”
Riuh rendah pendukung menyambut kedatangan Pak Tahir pada apel akbar di alun-alun desa. Apel akbar ini sekaligus membentuk tim pemenangan Pak Tahir. Pak Tahir sangat yakin terpilih lagi untuk kesekian kalinya. Disamping karena memang keluarganya yang turun temurun memimpin desa ini, ia memiliki pendukung yang banyak, pun ia memiliki harta yang lumayan banyak untuk mendukung segala keperluan kampanye.
Berbeda dengan Pak Tore yang menunjuk langsung ketua tim suksesnya, Pak Tahir mencoba melibatkan massa pendukungnya. Kali ini ia ingin dicap sebagai demokratis. Yang terpenting baginya bagaimana caranya bisa mempengaruhi rakyat.
“Hadirin yang kami cintai. Siapa kira-kira yang paling tepat menjadi ketua tim kampanye?” Jelas terdengar suara Pak Tahir lumayan lembut dan bijak.
“Bagaimana kalau Ibu Nursiah?” Seorang tokoh masyarakat desa mengusul.
“Kami setuju dengan Ibu Nursiah.” Koor peserta apel akbar di sebelah kiri.
“Bagus! Bagus!” Pak Tahir kelihatan puas. Sebenarnya sejak awal ia menginginkan Ibu Nursiah jadi ketua tim sukses. Ibu Nursiah memang masih ponakan Pak Tahir. Dan alasan yang paling tepat karena suami Ibu Nursiah, Pak Sam sudah diangkat menjadi ketua tim sukses pesaingnya. Tentu saja Pak Tahir bermaksud menggembosi Pak Tore.
“Bagaimana dengan yang lain? Pak Tahir menoleh ke sebelah kanan.
“Sebaiknya kita minta kesediaan Ibu Nursiah dulu.”
“Benar Pak, kita harus mendengar kesediaan Ibu Nursiah dulu, karena kami mendengar kabar suami Ibu Nursiah mendukung calon yang lain.”
“Baiklah, kita meminta tanggapan Ibu Nursiah.” Pak Tahir melirik ke arah Ibu Nursiah. Tapi ia tidak was-was, karena sebelumnya memang sudah ada pembicaraan.
“Saya sangat senang dan bangga menerima amanah ini. Saya berjanji semaksimal mungkin untuk memenangkan Pak Tahir. Soal suami saya yang menjadi pendukung calon lain, saya bisa mengatasinya dengan cara saya sendiri.” Ibu Nursiah bak srikandi.
“Hidup Pak Tahir!”
“Hidup Ibu Nursiah!”
Aplaus panjang menutup apel akbar pemenangan Pak Tahir.

Kesibukan Pak Sam dan Ibu Nursiah menjelang pemilihan kepala desa benar-benar kian meningkat. Sebagai pasangan suami isteri yang masing-masing menjadi ketua tim pemenangan kandidat yang bersaing benar-benar menciptakan dilema. Pak Sam berusaha menarik isterinya dan menggembosi Pak Tahir. Sebaliknya Ibu Nursiah mencoba meyakinkan suaminya dengan pilihannya, lalu menggembosi Pak Tore. Tentu saja yang menjadi korban adalah anak-anak mereka.
“Mengapa ya kak, ayah dan mama selalu berdebat saja akhir-akhir ini.” Si kembar Hayati dan Hayani yang masih duduk di kelas lima sekolah dasar mencoba mengadu kepada kakaknya.
“Ayah dan mama itu berpolitik, jadi mereka harus saling mendebat.”
“Apa itu berpolitik kak?”
“Seperti di teve, saling berdebat, saling mengibarkan spanduk.” Hamid yang duduk di kelas dua SMP kelihatannya cerdas memberi penjelasan kepada adik-adiknya. Ia memang ranking satu di kelasnya.
“Tapi kak, seperti di teve itu, biasanya membawa spanduk lalu berkeliling, berteriak-teriak, kadang-kadang berkelahi.” Hayati menelisik.
“Jadi ayah dan mama nanti juga berkelahi?” Hayani tak mau kalah.
“Ih! Jangan!” Hayati tak menginginkan kedua orang tuanya bermusuhan.
Hamid, anak sulung Pak Sam dan Ibu Nursiah yang terkenal cerdas di sekolah terdiam. Seperti terbawa arus pikiran adik-adiknya yang mengalir begitu saja setelah mendengar penjelasan kakaknya soal politik.
Mendadak Hamid memeluk kedua adik kembarnya. Kelihatan mereka bertiga berbisik-bisik. Entah apa yang dibicarakan. Tapi sepertinya rapat kecil, karena Hamid membisiki kedua adiknya bergantian. Lalu ada juga tos bersama. Mereka bertiga kelihatan cerah. Mungkin begitulah cara anak-anak berpolitik.

Berita politik benar-benar mendominasi berita malam stasiun teve ini malam. Para kandidat saling tuduh, saling tuding, masing-masing merasa yang paling amanah, paling jujur, paling pintar, paling dekat dengan rakyat miskin. Berita teve seirama dengan perdebatan antara sepasang suami isteri yang berbeda pendapat.
“Pak Tore yang paling amanah, Ma.”
“Pak Tahir yang paling amanah,Yah.” Ibu Nursiah tak mau kalah.
“Mama! Pak Tore sudah punya program untuk memajukan desa kita.”
“Pak! Pak Tahir juga sudah punya program sejak dulu. Periode kali ini Pak Tahir berjanji melaksanakan programnya dengan sungguh-sungguh.
Perdebatan Pak Sam dan isterinya semakin meninggi mengikuti irama debat calon kepala daerah di teve.
“Saya yakin Pak Tore yang akan terpilih.”
“Tidak. Pak Tahir yang bakal terpilih.
“Tidak Ma….”
“Ayah!”
“Mama!”
Tiba-tiba dari dalam kamar terdengar ketiga anaknya memanggil. Sejurus kemudian ketiganya muncul bersamaan. Pak Sam dan Ibu Nursiah hanya bisa melongo bercampur malu. Ketiga anaknya membawa spanduk-spanduk kecil yang terbuat dari kertas.
“Ayah dan Mama tidak boleh berpolitik.” Hayati mengangkat spanduknya.
“Ayah dan Mama tidak boleh berkelahi.” Hayani juga mengangkat spanduknya.
“Ayah dan Mama! We are a big family.” Hamid yang juara pidato Bahasa Inggris tingkat kabupaten membentangkan spanduknya.
Pak Sam dan Ibu Nursiah tak bisa berkata apa-apa. Diam. Diam-diam keduanya membatin, “Bunyi spanduk anak-anak kami benar-benar tulus. Bukan kampanye, bukan janji-janji seperti spanduk-spanduk yang kami buat, spanduk yang selalu menawarkan janji, yang selalu saja pemenang kelak punya alibi untuk tak memenuhi janji.” Lalu keduanya bertatapan. Ramah.

Sinjai-Makassar, 2008

1. Cerpen “SPANDUK KERTAS” dimuat Harian Fajar, Ahad 10 Agustus 2008

Sabtu, 12 Februari 2011

Cerpen dul abdul rahman: S A R I F A H

SARIFAH
Cerpen: dul abdul rahman

“Tapi, aku tak bersalah Pak Hakim.”
“Bagaimanapun, saudara sudah menghilangkan nyawa orang. Anda terjerat pasal pembunuhan berencana. Hukuman pancung mungkin terlalu ringan bagi saudara, apalagi saudara berasal dari negeri seberang.” Hakim menyudahi persidangan ini hari. Amar putusan hakim akan dibacakan pada persidangan terakhir minggu depan, sambil menunggu penasehat hukum terdakwa dari Indonesia.
Ia hanya bisa terpekur. Ia dikepung beribu kecemasan. Awalnya ia mengira gurun pasir adalah ladang emas, ternyata cuma ladang cemas baginya. Tubuhnya mendadak lemas, membayangkan seminggu lagi detik-detik menentukan. Apakah ia akan mengakhiri nasib sialnya di tiang gantungan, atau beroleh ampunan. Padahal berkali-kali ia memelas pada konsuler KBRI supaya nasibnya diperjuangkan. Tapi jawaban yang ia terima sungguh memiriskan.
”Tak ada jalan untuk membebaskan anda, hakim sudah punya alat bukti serta saksi-saksi bahwa anda memang benar-benar menghilangkan nyawa orang, apalagi ini majikan anda. Di negara manapun, ini digolongkan pembunuhan. Karena melakukan pembunuhan disini, maka anda harus diadili disini, tidak mungkin di tanah air.”
Jawaban staf konsuler KBRI serasa hanya menyodorkan aroma maut baginya. Padahal andaikan konsuler KBRI mau ngotot memperjuangkan nasibnya atau pemerintah memperjuangkan lewat jalur diplomatis mungkin hukuman yang akan ia terima lebih ringan.
Berkali-kali ia mengirim surat kepada pemerintah pusat di tanah air agar nasibnya diperjuangkan, tapi yang ia terima hanyalah janji plus doa agar pemerintah disini bisa mengampuninya. Janji dan doa yang mungkin beraroma kematian baginya. Namun ada secercah harapan menggantung di wajahnya ketika ia dengar kabar bahwa ada sebuah LSM di tanah air yang peduli akan nasibnya dengan mengirimkan penasehat hukum. Semoga bisa membantu. Ia amat mengharap.
...
Sarifah. Ia memang bukan siapa-siapa. Ia hanyalah perempuan desa. Pun pendidikannya hanya tamat SLTP. Sebenarnya ia cukup cerdas untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi ia harus mengalah pada kakak laki-lakinya. Meski ia menangis sejadi-jadinya. Merengek-rengek untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang SLTA.
”Ayah tak bisa membiayai sekolahmu Nak. Lihatlah biaya pendidikan makin mahal. Padahal dulu ayah sangat antusias memilih presiden karena katanya bila beliau terpilih pendidikan akan digratiskan.”
”Tapi aku tak mau jadi pengangguran Yah.” Ia terus merajuk
”Nak! Ayah hanya sanggup membiayai sekolah kakakmu, itupun ayah sudah menjual sebidang tanah. Kalau ayah menjual tanah lagi untuk biaya sekolahmu, lalu apa yang harus kita makan nanti?”
Ia hanya bisa terdiam. Tak mungkin ia memaksakan ayahnya dalam kondisi yang sulit seperti sekarang ini. Ia tahu ayahnya hanyalah petani kecil yang harus menanggung hidup keluarganya. Sebagai anak perempuan, cukuplah ia pintar membaca dan menulis saja. Selalu begitu pendapat yang ia selalu dengar di kampungnya. Ia tak kuasa menolak, karena memang alasan ekonomi juga sangat tidak mendukung untuk sekolah tinggi-tinggi.
Meski tak bisa sekolah, ia punya tekad. Kelak ia berjanji untuk menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi. Ia tak akan membeda-bedakan laki-laki atau perempuan. Tapi ia resah, tinggal di kampungnya berarti cuma satu yang ia tunggu. Jodoh. Kalau ada yang melamarnya dan orang tuanya setuju, ia pasti tak kuasa menolak. Sesungguhnya ia tak menampik jodoh, tetapi kalau yang melamarnya hanyalah anak tetangga sebelah, mungkin hidupnya tak jauh beda dengan orang tuanya yang tak mampu menyekolahkan anak.
”Akh jadi TKW, mungkin ini adalah pilihan terbaik bagiku.” Ia membatin. Dan akhirnya memang ia harus memilih. TKW. Kelak bila ia sudah punya modal, ia akan kembali ke kampung halamannya untuk berbisnis. Pun mungkin yang datang melamarnya bukan lagi anak tetangga sebelah yang kere, tetapi anak juragan dari kampung sebelah. Benak Sarifah pun penuh sesak impian mata uang ringgit Malaysia, atau dollar Hongkong, dan yang paling menyilaukan matanya adalah riyal Saudi. Apalagi yang ia dengar majikan Arab itu paling gampang melayaninya, tapi paling menjanjikan bayarannya.
”Begitulah Sarifah, laki-laki Arab itu paling suka dipijitin. Mereka tak macam-macam. Karena asal dielus-elus sedikit langsung tertidur. Tapi kamu harus jaga diri.” Begitulah nasehat tetangganya yang pernah jadi TKW di luar negeri melepas keberangkatan Sarifah.
...
Ini hari adalah persidangan terakhir. Mungkin saat-saat menjelang kematiannya. Lembaran-lembaran hidupnya sejak kecil sampai ia dipenjara di negeri gurun pasir itu terekam dalam benaknya. Dalam kepengapan ruang sidang, nafasnya seperti tertahan bersama sesosok lelaki tinggi besar berewok yang mencoba melucuti pakaiannya secara paksa.
Malam itu memang tidak seperti biasanya. Majikan laki-lakinya minta dipijit di kamarnya sendiri. Majikan perempuannya memang lagi keluar kota bersama dua orang anaknya menghadiri acara keluarga.
”Awas! Kubunuh kau bila macam-macam.” Lelaki berewok itu kian beringas.
Sarifah, perempuan desa yang sangat menjaga kesuciannya mencoba mempertahankan diri dengan meronta-ronta. Namun cengkereman lelaki berewok yang bertenaga unta itu teramat kuat baginya.
Di tengah ketidakberdayaannya, serta tekad untuk mempertahankan kesuciannya, ia pun kalap. Ia meraih pisau yang tadi ia gunakan mengelupas buah untuk majikannya. Cresss...!
”Pembunuh! Pembunuh!”
”Gantung! Pancung!
”Perempuan laknat. Jahanam. Tak tahu diri.”
Teriakan dan hujatan dari orang-orang yang menghadiri sidang membuyarkan lamunan Sarifah. Mereka adalah para keluarga almarhum majikannya, termasuk isteri dan anak-anaknya.
”Bagaimana saudara terdakwa? Apakah saudara memang benar-benar sengaja membunuh majikan saudara?” Hakim mempersilakan terdakwa.
”Sungguh aku tak bermaksud membunuhnya Pak Hakim, aku hanya mempertahankan kehormatan diri dan harga diri.”
”Kehormatan diri? Harga diri?”
”Ya Pak Hakim, ia mencoba....”
”Cukup!” Hakim langsung memotong penjelasan terdakwa.
”Rupanya saudaralah yang tak tahu diri. Padahal saudara sangat beruntung ada majikan disini yang siap mempekerjakan saudara. Pun pemerintah disini menerima saudara dengan tangan terbuka.” Jaksa penuntut umum memberikan pendapatnya.
Sarifah tak bisa berkata apa-apa. Detak jantungnya kini ibarat derap langkah malaikat maut yang menjemputnya.
Kini ia baru sadar akan kebenaran cerita rekan-rekannya bahwa jarang sekali ada TKI yang berperkara dengan majikan disini terbebas dari hukuman. Apalagi kalau soal pembunuhan. Hukum kisas berlaku. Apalagi memang diplomasi Indonesia sangat lemah. Sehingga majikan disini merasa aman-aman saja bila memperkosa perempuan dari Indonesia.
”Baiklah! Sebelum memutuskan perkara, terlebih dahulu hakim mempersilahkan terdakwa berkonsultasi dengan penasehat hukum dari negaranya.” Suara hakim memberi sejumput asa buat Sarifah.
”Cuma satu cara untuk menyelamatkan jiwa anda. Dulu, pernah ada perempuan berdarah Amerika yang membunuh seorang lelaki Arab yang hendak memperkosanya. Ia terbebas dari hukuman kisas, karena ternyata disini memperkosa adalah perbuatan laknat yang harus dihukum.”
”Maksud bapak?”
”Begini, anda harus mengaku bukan orang Indonesia.” Penasehat hukum bantuan dari LSM di Indonesia cukup jeli menemukan ide. Apalagi memang wajah Sarifah agak Indo dengan hidung mancungnya, plus kulit putih bersih. Belanda memang bukan hanya menjajah Indonesia dulu, tapi juga menjamah perempuan Indonesia.
” Tapi aku orang Indonesia asli, Pak.”
”Anda hanya berpura. Nama Indonesia buat mereka para hakim tak menakutkan sama sekali.”
”Bagaimana pun aku sangat mencintai tanah air, Pak.” Sarifah bak srikandi.
”Makanya, kalau anda masih ingin kembali ke tanah air dengan selamat, lakukan apa yang kusarankan.” Penasehat hukum dari Indonesia bergegas meninggalkan jejak kengerian yang akan menginjak-injak tubuh Sarifah bila ia tak mau menuruti nasehatnya.
”Aku bukan orang Indonesia?” Sarifah terus membatin.
“Mungkin memang aku bukan orang Indonesia saat ini, tetapi suatu saat aku bisa benar-benar jadi orang Indonesia. Sekaligus menjadikan nama Indonesia tidak dilecehkan di luar negeri.”
Kali ini Sarifah mengikuti seluruh saran penasehat hukumnya. Ia seolah diliputi sejuta mimpi dan harapan. Ia teringat bahwa banyak pemimpin-pemimpin negara saat ini dipegang oleh kaum buruh. Tapi ia tidak muluk-muluk. Ia hanya teringat masa kecilnya yang bercita-cita memperjuangkan nasib perempuan Indonesia. Mungkin ia tidak tahu, bahwa sesungguhnya di Indonesia ada yang namanya Menteri Pemberdayaan Perempuan.

Makassar, 22 Desember 2007

1. Cerpen ”SARIFAH” dimuat Harian Fajar, Ahad 17 Juni 2007

Sabtu, 05 Februari 2011

KOMUNITAS PENA HIJAU

KOMUNITAS PENULIS TERBENTUK DI TAKALAR

Sejatinya animo kesusastraan dan kepengarangan di Sulawesi Selatan lebih membara dari daerah-daerah lainnya di Indonesia. Sulawesi Selatan memang punya sejarah besar dalam hal kepenulisan. Lontara atau aksara lontarak menjadi trademark kepenulisan nenek moyang Sulawesi Selatan. Pun kitab sastra La Galigo yang menurut sejarawan ternama Belanda R.A.Kern sebagai kitab sastra terpanjang di dunia. Kern menempatkan kitab La Galigo setara dengan kitab Mahabharata dan Ramayana dari India atau sajak-sajak Homerus dari Yunani.
Benang-benang sejarah panjang itulah yang membalut hati Muhammad Kasman (Kasman Daeng Matutu) sehingga ia memprakarsai pembentukan komunitas penulis di Takalar pada hari Sabtu 5 Februari 2011.
Acara pendeklarasian “Komunitas Pena Hijau” yang umumnya beranggotakan para pelajar di Kabupaten Takalar dirangkaikan dengan kegiatan seminar nasional pendidikan dengan tema “Mari Menulis Untuk Kemajuan Bersama” dengan menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu: Khrisna Pabichara (Sastrawan, sekaligus direktur eksekutif Rumah Kata Institute Jakarta); Dul Abdul Rahman (Sastrawan, editor dan penyunting buku-buku sastra penerbit Ombak Yogyakarta); dan Muhammad Ridwan Tiro, SE,MM (Kepala Dinas Dikpora Kabupaten Takalar).
Khrisna Pabhicara dan Dul Abdul Rahman memberikan tips-tips dan motivasi menulis kepada para peserta yang terdiri dari pelajar dan guru-guru di Kabupaten Takalar. Khrisna Pabhicara yang malang melintang di seluruh Indonesia sebagai motovator penulisan sekaligus pengarang buku best-seller nasional “Rahasia Melatih Daya Ingat: Cara Revolusioner Meningkatkan Kecerdasan Otak dalam Waktu Sekejap” menekankan perlunya anak-anak didik diajarkan menulis dengan baik sejak dini. Khrisna yang sejauh ini sudah menulis 12 buku juga menambahkan bahwa yang paling penting adalah bagaimana cara guru mengajari anak-anak didiknya untuk menulis, tentu saja guru juga harus berkompeten.
Sedangkan Dul Abdul Rahman, yang sejauh ini sudah mengeluarkan empat novel yang semuanya terbit di Yogyakarta memberikan tips bahwa menulis itu gampang. Yang penting seorang penulis atau calon penulis harus berusaha berlatih terus untuk menulis. Tentu saja aktifitas menulis tidak bisa dilepaskan dari aktifitas membaca. Jadi seorang penulis yang baik juga adalah seorang pembaca yang baik.
Sayangnya sampai seminar nasional tersebut berakhir, pemateri lainnya Muhammad Ridwan Tiro yang sekaligus Kepala Dinas Dikpora Kabupaten Takalar, tidak menampakkan batang hidungnya. Entah apa yang membuat sang kepala dinas tersebut tidak memenuhi undangan panitia. Padahal panitia seminar telah jauh-jauh hari mengundangnya. “Semestinya Pak Kepala Dinas datang sebagai bentuk apresiasi dan dukungan kepada peserta dan Komunitas Pena Hijau yang terbentuk.” Ujar seorang panitia. “Mungkin saja acara ini tidak ‘seksi’ jadi Pak Kadis tidak datang.” Ujar panitia lainnya.
Meski tanpa kehadiran dan tanpa dukungan kepala dinas dikpora Kabupaten Takalar, acara seminar nasional yang dirangkaikan pendeklarasian Komunitas Pena Hijau tetap berlangsung dengan baik. Bahkan para peserta seminar yang juga tergabung dengan Komunitas Pena Hijau begitu bersemangat memasuki rumah baru, rumah kepenulisan. Selamat berkarya buat Komunitas Pena Hijau!

(Dul Abdul Rahman; Novelis, motivator penulisan)

Kamis, 03 Februari 2011

Diskusi Novel "Sabda Laut" Membedah Nuansa Lokal Laut Hemingway Sarat Filosofi, Laut Rahman Kaya Petuah





BEDAH NOVEL. Penulis novel Dul Abdul Rahman (kanan), Supa Atha’na, Burhanuddin Arafah (kedua dari kiri), serta Basri (moderator; kiri) pada bedah novel di Studio Mini Redaksi FAJAR, Sabtu 4 Desember.

DALAM tempo dua tahun, dul abdul rahman (Rahman) melahirkan empat novel. Pria kelahiran Sinjai ini bahkan siap-siap lagi meluncurkan dua novel terbarunya. Untuk mengapresiasi prestasi novelis ini, Simpul Sastra FAJAR bekerja sama Fakultas Ilmu Budaya Unhas membedah salah satu novel Rahman berjudul, "Sabda Laut".

NUANSA lokal (local wisdom) dalam novel "Sabda Laut" menarik perhatian Prof Dr Burhanuddin Arafah untuk membicarakannya lebih lanjut dalam bedah novel di Studio Mini Redaksi FAJAR, Sabtu, 4 November. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unhas ini didampingi pembicara lainnya, Direktur Iranian Corner Unhas, Supa Atha'na.

Dalam kaitannya dengan nuansa lokal, terutama tradisi melaut, Burhanuddin membandingkan "Sabda Laut" dengan "The Old Man and the Sea" (Lelaki Tua dan Laut) karya Ernest Hemingway. "The Old Man and the Sea" adalah sebuah novella (novel pendek) yang ditulis jurnalis Amerika Serikat.

Novel yang ditulis pada 1951 dan diterbitkan di Kuba pada 1952 itu bercerita tentang Santiago. Karakter utama terdapat pada tokoh nelayan lelaki tua yang bersusah-payah berjuang untuk menangkap seekor ikan marlin raksasa jauh di tengah arus Teluk Meksiko.

Lelaki Tua dan Laut mengisahkan ulang tentang perjuangan kepahlawanan antara seorang lelaki nelayan tua yang berpengalaman dengan seekor ikan marlin raksasa yang disebut sebagai tangkapan terbesar dalam hidupnya.

Alur diawali dengan cerita bahwa nelayan yang bernama Santiago tersebut telah melewati 84 hari tanpa menangkap seekor ikan pun (kemudian disebutkan dalam cerita ternyata 87 hari). Dia tampaknya selalu tidak beruntung dalam menangkap ikan sehingga murid mudanya, Manolin dilarang oleh orang tuanya untuk berlayar dengan si lelaki tua dan diperintahkan untuk pergi dengan nelayan yang lebih berhasil.

Masih berbakti kepada si lelaki tua tersebut, Manolin mengunjungi gubuk Santiago setiap malam, mengangkat peralatan nelayannya, memberinya makan dan membicarakan olah raga bisbol Amerika dengan si lelaki tua. Santiago berkata pada Manolin bahwa di hari berikutnya dia akan berlayar sangat jauh ke tengah teluk untuk menangkap ikan, dan dia yakin bahwa gelombang nasibnya yang kurang beruntung akan segera berakhir.

Penggalan cerita yang dikemukakan Burhanuddin itu sesungguhnya ingin menampilkan kaitan latar kehidupan laut novel "Sabda Laut" dan "The Old Man and the Sea". Jarak pembuatan dan asal wilayah kedua novel ini memang sangat jauh. "Sabda Laut" ditulis pada 2010, sedangkan "The Old Man and the Sea" pada 1951. Penulisnya pun berada di antara dua benua yang berbeda. Rahman di Sinjai (pedalaman Sulsel), sedangkan Ernest Hemingway di Amerika.

Lantas bagaimana keterkaitan latar dan tokoh kedua novel tersebut? "Kendati keduanya mengeksplorasi kehidupan laut, masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda," kata Burhanuddin.

Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unhas ini menekankan bahwa nasihat-nasihat lokal mestinya dikaji lebih dalam lagi agar menjadi kekuatan tersendiri dalam "Sabda Laut". Pada gilirannya, ia akan menjadi bagian utuh secara simbolik dalam karya sastra itu. Pada tataran pengkajiannya pun, simbol-simbol itu bisa dimaknai secara utuh pula.

"Inilah yang tak kalah pentingnya untuk kita kaji bersama, bagaimana mendapatkan nilai-nilai kehidupan dari sebuah karya sastra yang kaya dengan kearifan-kearifan lokal," kata guru besar Unhas yang menyelesaikan S-2 di Amerika Serikat dan S-3-nya di Australia itu.

Burhanuddin kemudian menyarankan agar Rahman tidak ragu-ragu apalagi malu-malu menggunakan idom-idiom lokal dalam karya-karyanya. Ia mencontohkan beberapa diksi etnik dalam "The Old Man and the Sea" yang bahkan tidak dijelaskan pengertiannya oleh Hamingway.

Berbeda dengan Rahman yang menjelaskan hampir semua istilah/idiom lokal yang digunakan. "Penjelasan itu tidak perlu," kata Burhanuddin sambil menjelaskan kedudukan dan peran pembaca dalam memaknai idiom-idiom lokal tersebut, sekaligus menjawab pertanyaan peserta diskusi, dra Siti Nursaadah M Hum tentang perbedaan karakteristik "Sabda Laut" dan "The Old Man and the Sea".

Rahman pada kesempatan mengemukakan proses kreatifnya, menjawab, bahwa penjelasan idiom-idiom lokal itu dilakukan karena terkait dengan "pesan sponsor". Hal itu berkaitan erat dengan kemauan penerbit yang notabene berada di luar Sulsel. "Apalagi karya-karya saya ini lebih banyak berdedar di Jawa," kata novelis yang pernah menjadi anggota Dewan Pembaca Fajar tersebut.

Supa Atha'na juga menggarisbawahi nilai-nilai lokal dalam "Sabda Laut". Kehadiraan novel Rahman ini menginspirasi sebuah fenomena menarik tentang eksplorasi laut. Laut sebagaimana umumnya objek kajian yang ada pada realitas kita, tidak membatasi orang-orang dan latar belakang tertentu untuk bisa akrab dengannya, karena kedalaman semua objek termasuk laut sangat kaya untuk hanya disentuh oleh seseorang, segolongan, dan keahlian tertentu.

"Jangan pernah ada perasaan dan cetusan pikiran bahwa laut akan habis bila banyak orang yang memanfaatkannya. Alquran menyebutkan banyak variabel yang bisa didapatkan dari laut. Ketika Tuhan sudah membahasakan sesuatu yang banyak maka dalam ukuran manusia tidak ada lagi habisnya. Tuhan telah menjamin ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari laut," kata dosen yang pernah mendalami Sastra Persia empat tahun di Iran itu.

Supa kemudian memaparkan bahwa kehadiran beberapa novel Rahman telah menambah khasanah karya sastra yang turut memperkuat dan menumbuhkan kebudayaan Sulsel di tengah semakin kurangnya perhatian terhadap kebudayaan lokal. Itu pula sebabnya, Supa melontarkan gagasan ironik mengenai semakin menurunnya perhatian terhadap kebudayaan tersebut. "Kalau mau kebudayaan Sulsel maju, maka pindahkan pusat dokumentasi sejarah dan kebudayaan Sulsel yang ada di Leiden, Belanda itu ke Sulsel," katanya disambut aplaus oleh hadirin.

Akhirnya, pilihan sikap Rahman untuk bertahan pada wilayah kearifan lokal dalam novel-novelnya harus diapresiasi dengan layak. Setidaknya berupa dukungan moral dengan harapan, agar Rahman tetap selalu bisa bertahan menuliskan karya-karyanya.

Bedah buku yang dimoderatori Redaktur Budaya FAJAR, Basri itu menambah nuansa lokal jalannya diskusi ketika kelompok Jaya Musik menyelingi dengan lantunan lagu-lagu daerah. Drummer cilik (kelas VI SD), Jaya, sempat menarik perhatian peserta diskusi pada sesi penutup ketika bersama tiga pemain lainnya, memainkan instrumentalia jaz. (*) LAPORAN BASRI, REDAKTUR BUDAYA HARIAN FAJAR

Rabu, 02 Februari 2011

cerpen dul abdul rahman: PERNIKAHAN MALAM

PERNIKAHAN MALAM
Cerpen: Dul Abdul Rahman

“Seperti Rama dan Sinta.”
“Benar-benar pasangan serasi.”
Silih berganti ucapan bernada pujian menari-nari di telinga Beddu. Berulas-ulas senyuman terus tersungging di bibirnya sebagai jawaban dari seribu pujian dari para tetamu yang hadir. Kilatan blits dari segala penjuru ruangan terus menyorot kearahnya. Benar-benar sebuah peristiwa yang luar biasa bagi Beddu. Sebuah pesta pernikahan di hotel berbintang, dulu hanyalah mimpi buatnya, tapi sekarang benar-benar terjadi. Biasanya kalau ada keluarganya yang menikah, paling-paling memasang tenda di depan rumah, lalu menutup jalan untuk sementara, lalu mengundang elektone, lalu undangan boleh berdangdut ria.
Beddu sangat bahagia. Impiannya untuk mempersunting gadis pujaannya bukan angan-angan semata. Padahal awalnya ia disemat keraguan, ketika orang tua Jamilah menolaknya jadi mantu. Namun karena kecintaannya pada Jamilah, dan Jamilah juga memang mencintainya, ia nekad melakukan apa saja. Dan buat Beddu, selalu ada peluang di setiap bahaya. Ia memang sering membaca biografi orang-orang terkenal yang selalu memahat harapan di setiap peluang. Ia hafal biografi tokoh dunia macam Winston Churchill.
“Apa? Kau mau melamar anak saya?” Orang tua Jamilah menatapnya lekat-lekat.
“Saya mencintai anak bapak.” Beddu begitu tegar, tetapi tetap saja tak bisa menatap wajah garang ayah Jamilah.
“Lalu, apakah kau sanggup memberi makan anak saya?”
Pertanyaan ayah Jamilah benar-benar menusuk hati Beddu. Seakan ayah Jamilah mengatakan padanya “Kau miskin Beddu.” Padahal salah satu alasan Beddu ingin menikah dengan Jamilah karena orang tua Jamilah kaya raya. Dengan menikahi Jamilah, Beddu berharap ketularan kaya. “Tapi ayah Jamilah menuntut saya memberi makan anaknya, bukankah mereka bisa makan apa saja? Beddu membatin.
“Bagaimana anak muda? Kalau kau tak sanggup memberi sesuatu kepada anak saya, saya tak akan menerima lamaranmu.”
“Tapi Pak, kami saling mencintai.”
“Aha! Cinta bukan sekedar perasaan, cinta adalah pemenuhan nafkah lahir batin.” Ayah jamilah lalu meninggalkan Beddu seorang diri. Beddu menangis. Jamilah, gadis cantik, teman kuliahnya yang begitu ia cintai tak bisa ia miliki.”
“Eh pengantin meneteskan air mata.”
“Ia pasti bahagia sekali bisa mempersunting anak pengusaha besar.”
“Pasti ia akan mewarisi kekayaan mertuanya karena Jamilah adalah anak tunggal.”
Celotehan para tetamu menyadarkan lamunan Beddu. Ia memang tak bisa melupakan saat ayah Jamilah menolaknya mentah-mentah jadi mantu. Beddu bergegas mengembalikan perasaannya, tak mau ia larut pada kesedihan, bukankah sekarang ia teramat bahagia karena ayah Jamilah akhirnya menerimanya, tetapi selalu ada keraguan di hati Beddu. Entah, ia merasa ayah Jamilah belum benar-benar ikhlas menerimanya.
Beddu terus menyambut kedatangan para tamu yang ingin mengucapkan selamat kepada mereka berdua. Laiknya ia menyambut hamparan-hamparan kebahagiaan yang terpampang lebar di hadapannya. Buat Beddu, pernikahannya dengan Jamilah adalah sebuah rangkuman kebahagiaan yang teramat indah. Meski ia hanyalah anak seorang pedagang kaki lima, tapi berhasil menggaet gadis sekelas Jamilah. Gadis ayu nan memesona. Turunan keluarga ningrat yang kaya raya.
Awalnya, ibu Beddu juga tak merestui anaknya menjalin hubungan dengan Jamilah. Ibu Beddu merasa orang tua Jamilah akan menolak anaknya, karena orang tua Jamilah yang kaya raya pastilah tak mau berbesanan dengannya yang hanya pedagang kaki lima.
“Mengapa ibu menolak saya dekat dengan Jamilah. Jamilah itu anak orang kaya.”
“Justru itulah Nak. Ibu tak mau melihatmu kecewa kelak.”
“Kecewa?”
“Ya, kamu akan kecewa Nak.”
“Tapi saya dan Jamilah saling mencintai Bu.” Beddu terus meyakinkan ibunya.
“Tapi menikah bukan urusan kamu saja berdua, urusan saya juga, pun urusan orang tua Jamilah.”
“Makanya ibu harus merestui kalau saya mau menikah dengan Jamilah.”
“Beddu! Beddu! Ibu sebenarnya sangat merestui, tapi orang tua Jamilah? Mereka tidak akan merestui anaknya bersuamikan orang miskin.”
“Kita tidak boleh minder Bu, saya akan meyakinkan orang tua Jamilah.” Beddu segera meninggalkan ibunya seorang diri di kamar.
Ibu Beddu hanya bisa menggeleng-geleng kepala melihat kenekatan anak laki-lakinya. Meski begitu, ia tetap bangga punya anak laki-laki yang punya kemauan keras. Beddu adalah tetesan darah almarhum suaminya yang selalu tegar menghadapi hidup. Beddu juga adalah anak satu-satunya. Meski hanya pedagang kecil-kecilan, tapi ibu Beddu sangat bahagia karena bisa menyekolahkan anaknya, bahkan Beddu bisa kuliah.

Pesta pernikahan Beddu dan Jamilah benar-benar ramai. Karena Jamilah adalah anak satu-satunya, maka keluarga pihak Jamilah mengadakan pesta yang benar-benar meriah. Tentu saja keluarga Jamilah yang lebih berperan mengurusi pesta karena keluarga Beddu adalah keluarga pas-pasan. Keluarga Jamilah tetap bersemangat dan berbahagia atas pernikahan Jamilah, hanyalah ayah Jamilah yang kelihatan kurang merestui.
Beddu dan Jamilah menyambut tamu seramah mungkin. Namun terkadang ada gelisah di hati mereka.
“Tidak Jamilah, kau anak ayah satu-satunya. Harapan ayah satu-satunya.”
“Tapi ayah…”
“Tidak ada tapi-tapian Jamilah, pokoknya ayah tidak akan merestui kau menikah dengan Beddu.” Ayah Jamilah segera memotong kalimat anaknya.
“Ayah! Beddu adalah anak yang baik dan bertanggung jawab.”
“Memang baik, karena ingin memiliki harta ayah.”
“Apa salahnya ayah, kalau Beddu memilikinya kan saya juga yang ikut memilikinya.” Jamilah mencoba meyakinkan ayahnya.
“Ooo…, jadi kamu kuliah hanya untuk mendapatkan laki-laki itu.” Ayah Jamilah segera meninggalkan anaknya. Tak mau ia mendengar lagi Jamilah memelas restu darinya hanya untuk menikah dengan lelaki miskin. Ayah Jamilah memang sudah memilihkan jodoh anaknya dengan seorang putra pengusaha, rekan bisnisnya. Ayah Jamilah berpikir dengan menikahkan putrinya dengan anak seorang pengusaha, berarti ia menyatukan dua kekayaan. Tetapi kalau menikah dengan Beddu ia merasa usahanya akan tergerogoti.

Pesta sudah usai. Beddu dan Jamilah nampak kelelahan. Namun keduanya tetap nampak bahagia. Mereka sudah resmi jadi pasangan suami isteri. Artinya tak ada lagi sekat. Maka bila keduanya berpelukan erat, tak ada lagi jerat buat mereka.
Di kamar pengantin. Beddu memeluk isterinya. Tapi tidak laiknya seperti pengantin baru, Beddu dan Jamilah tidak begitu mengsakralkan malam ini, malam pertama ini. Beddu hanya membelai-belai perut isterinya.
“Coba jawab sayang, siapa laki-laki yang paling jantan di dunia ini?”
“Pasti abang Beddu.”
“Alasannya?”
“Gaya bercinta abang sangat dahsyat, baru beberapa jam menikah, saya sudah hamil tiga bulan.”
Beddu segera memeluk isterinya. Lalu keduanya terkekeh-kekeh mengingat pengalaman malam pertama mereka tiga bulan yang lalu. Tentu saja para keluarga yang menginap di rumah Jamilah tidak mendengar mereka. Karena kekehan keduanya menjelma desahan, karena mulut Jamilah tertutup oleh mulut Beddu.
“Malam pertama tiga bulan lalu benar-benar membawa berkah ya Bang.”
“Happy ending sayang, gara-gara malam pertama yang dahsyat itu, akhirnya ayahmu mau menerimaku jadi mantu.”
“Tapi abang berdosa.”
“Berdosa, tapi niatnya baik, cuma itu jalan satu-satunya.”
Beddu sebenarnya tak mau melakukan hubungan suami isteri di luar nikah, tapi Beddu melakukannya hanya untuk mendapatkan Jamilah yang sangat dicintainya. Ia sengaja menghamili Jamilah agar ayah Jamilah tak bisa lagi menolaknya. Dan benar saja, ayah Jamilah terpaksa menikahkan anaknya dengan Beddu, karena ia sangat malu bila anaknya hamil dan melahirkan tapi belum bersuami. Tapi ayah Jamilah sungguh punya perhitungan, dan ia juga punya taktik seperti taktik Beddu untuk mendapatkan anaknya.
“Jamilah sayang, mungkinkah kita bisa bersama selamanya?” Beddu menggumam ragu.
“Tentu saja Bang, kita sudah resmi jadi pasangan suami isteri.”
“Tapi saya masih ragu, tatapan ayahmu kepadaku sepertinya masih tersimpan rasa benci.”
“Sabarlah Bang! Lambat laun ayah pasti berubah.”
“Kau yakin sayang?”
“Saya yakin. Ayah…”
“Tok! Tok! Tok!”
Belum juga Jamilah menyelesaikan kalimatnya, pintu mendadak diketuk. Lalu terdengar suara memanggil Jamilah dan Beddu untuk bertemu dengan ayah Jamilah.
Beddu dan Jamilah segera menemui ayahnya di ruang tamu. Jamilah tak tahu apa maksud ayahnya. Beddu nampak was-was. Di ruang tamu sudah duduk empat orang, ayah Jamilah, rekan bisnis ayah Jamilah, serta dua orang berpakaian rapi memakai dasi.
Beddu terlihat canggung meski sebenarnya ia tidak akan ketemu dengan orang lain, tetapi dengan mertuanya sendiri. Jamilah mendadak deg-degan, karena ia tahu ayahnya sangat tegas pendirian.
“Duduklah!”
“Dan kau Beddu, silakan tanda tangani surat ini, kalau kau tidak mau tanda tangan, kau pun keluargamu akan beroleh celaka.”
Mendadak Beddu lemas. Karena surat yang disodorkan oleh ayah Jamilah adalah surat cerai antara Beddu dan Jamilah. Buat ayah Jamilah, tidak ada yang susah di dunia ini. Dengan uang, semua urusan bisa beres. Termasuk membereskan orang-orang yang berani menantangnya. Ayah Jamilah tersenyum, ia tak malu lagi anaknya hamil dan melahirkan kelak karena memang anaknya telah bersuami. Predikat janda untuk sementara tak masalah.
Setelah menandatangani surat perceraian, Beddu kian pusing, dibius mimpi-mimpi yang jalang. Ia menatap langit-langit tak berbintang. Ada ratapan dalam tatapan matanya yang kosong.

Konawe Selatan, 2007

1. Cerpen “PERNIKAHAN MALAM” dimuat Harian Fajar, Ahad 19 Oktober 2008

Selasa, 01 Februari 2011

cerpen: SEORANG PENULIS DAN KOMPUTER TUANYA

SEORANG PENULIS DAN KOMPUTER TUANYA1

Cerpen: dul abdul rahman

Larut malam. Lam bergegas memulai tulisannya. Ia harus menyelesaikannya ini malam. Besok ia harus kirim ke redaktur budaya di sebuah koran harian yang memesan tulisannya.
Tadi sore Lam harus menemani isterinya berbelanja bahan-bahan untuk membuat kue buat jualan esok hari. Isteri Lam memang berusaha meringankan beban suaminya dengan berjualan penganan di depan rumah. Apalagi rumah mereka berhadapan dengan sekolah dasar sehingga anak-anak sekolah selalu menyerbu jualannya selepas pulang sekolah atau istirahat.
Tadi petang, Lam harus mengawasi dan menemani putranya belajar matematika. Ia berharap kelak anaknya bisa kuliah di fakultas kedokteran, bukan di fakultas sastra seperti dirinya. Ia tidak tertarik mengarahkan anaknya jadi penulis. Sebenarnya Lam sangat mencintai profesinya, tetapi ia tak bisa menutup mata pendapat masyarakat tentang profesinya tersebut. Bahkan mertuanya dulu pernah mencapnya pengangguran. Lam ingat, ia geragapan menjawab pertanyaan calon mertuanya dulu tentang kantornya.
“S…saya tak punya kantor, Pak.”
“Lha, katanya sudah bekerja.”
“I…iya Pak, tapi…”
“Maksudnya kantornya digusur?”
“Memang sejak dulu tak punya kantor Pak.”
“Aneh!”
“Saya seorang penulis Pak.” Lam cepat menyebut jenis profesinya. Takut kalau calon mertuanya menyebutnya orang aneh. Padahal ia sangat mencintai anak gadisnya.
“Penulis?”
“Ya, saya seorang penulis Pak.”
Lam terus meyakinkan. Sementara calon mertuanya mengernyitkan alis seolah penulis bukan bagian dari profesi yang ia pahami. Ia memang seorang kepala desa yang selalu mengurusi KTP buat warganya. Selama ia menangani KTP, belum pernah ia melihat profesi seseorang tertulis penulis. Biasanya adalah dokter, polisi, PNS, wiraswasta, petani, atau yang lainnya.
“Nak! Kalau profesi penulis itu tertulis apa di KTP, soalnya pada draft biodata KTP tidak ada penulis.”
Lam kian geragapan. Ia membatin tidak karuan. Ia ragu, calon mertuanya memang tidak tahu menahu soal penulis. Atau calon mertuanya sengaja mau menjebaknya bahwa ia benar-benar pengangguran. Lalu menolaknya jadi mantu.
Lam tersenyum-senyum mengingat pengalamannya waktu melamar dulu. Untungnya, tempo itu ia bisa meyakinkan calon mertuanya bahwa meskipun ia cuma seorang penulis tapi ia yakin mampu menafkahi isteri dan anak-anaknya kelak.
Lam bergegas menyalakan komputernya. Tapi ia harus menunggu bermenit-menit. Mungkin komputer miliknya sudah mulai kelelahan. Ia sepertinya tak sanggup lagi mengikuti jejak-jejak pikiran Lam yang tidak dibatasi oleh makhluk yang bernama pentium.
“Yah! Apakah Lapundarek* jadi menikah dengan putri raja?”
Lam terperanjat. Kaget. Ternyata putranya belum jua tidur. Padahal tadi ia berhenti bercerita karena menyangka putranya sudah tidur. Sudah menjadi kebiasaan Lam mendongeng sebagai pengantar tidur anak-anaknya.
“Lapundarek menikah dengan siapa, Yah? Yang bungsu, yang tua, atau yang tengah.”
“Yang bungsu, Sayang.”
Lam segera melayani pertanyaan putranya. Ia memang selalu ingin tahu setiap cerita yang diutarakan ayahnya. Lam bahagia. Lam senang. Dengan bercerita, ia mencoba meningkatkan keingintahuan serta cara merespons anak-anaknya. Biasanya Lam membuat cerita bersambung laiknya sinetron di teve.
“Horeee! Lapundarek menikah dengan yang paling cantik.”
“Bukan hanya itu, tapi baik pula budinya.”
“Beruntung sekali Lapundarek ya, Yah?”
“Lapundarek kan orang tabah dan sabar.”
“Tapi Yah, masa putri raja yang cantik mau sama Lapundarek. Lapundarek kan jelek dan bau.”
“Hush! Tak boleh menghina.”
“Maaf, saya lupa. Lanjutkan ceritanya Yah!”
“Tidurlah sayang, besok malam ayah lanjutkan ya.”
“Tapi ayah harus janji.”
“Ayah berjanji, Sayang.”
Lam kembali menatap komputernya. Malam ini ia akan menulis tentang seorang penulis yang hidupnya pas-pasan. Meskipun demikian, sang penulis tersebut tetap setia pada profesinya. Mungkin Lam mencoba melukis dirinya lewat tulisan itu. Entah.
Lam terus memilih dan memilah kata yang tepat. Lalu merangkainya menjadi kalimat yang mendayu-dayu. Salah satu kelebihan Lam memang adalah penggunaan diksi yang benar-benar bisa mengharubirukan perasaan pembaca. Bahkan tidak sah rasanya membaca tulisan Lam tanpa ditemani sapu tangan penyeka airmata. Begitulah pengakuan salah seorang fans Lam.
“Istirahat dululah Bang!”
Kali ini suara isterinya yang lembut membuyarkan pikiran Lam. Tapi tidak masalah. Lam sangat mencintai isterinya. Bahkan sebentuk perhatian, pun pengabdian dari isterinya adalah sebuah inspirasi Lam untuk terus menulis.
Lam memang sangat beruntung. Ia bisa mempersunting anak kepala desa di kampungnya yang baik budi bahasanya, cantik pula. Mata bening isterinya, serta wajah yang ayu, senyum yang menawan selaksa sketsa Siti Nurhaliza, penyanyi dari negeri seberang yang memang menjadi idola Lam
“Tidak capeklah, Sayang.”
“Abang harus jaga kesehatan.”
“Abang sehat-sehat selalu, Sayang.”
“Tapi jangan terlalu memforsir diri Bang.”
Lam bangkit. Ia mengecup kening isterinya sebagai tanda sayang. Pun ia tak lupa mencium anak-anaknya yang sudah pulas terbawa cerita Lapundarek yang sangat mereka suka. Lam berharap, semoga orang-orang yang sangat ia cintai dan kasihi bisa istirahat dengan tenang. Pun ia tidak mendapat gangguan lagi supaya tulisannya bisa selesai ini malam. Honor tulisannya kali ini buat beli replika cincin pernikahan buat isterinya menjelang ulang tahun pernikahan yang kesepuluh.
Isteri Lam memang terpaksa menjual cincin pernikahan sebagai modal usaha jual-jualan. Sebenarnya isteri Lam tak pernah menuntut suaminya menggantinya, cuma Lam selalu ingin membuat isterinya bahagia.
Lam duduk kembali. Ia melanjutkan tulisannya. Di luar, angin malam berhembus pelan menyanyikan lagu alam. Malam merilis lirik buat Lam seirama dengan ayunan pulpennya.
Lam tersenyum-senyum. Tokoh utama dalam cerpennya ia beri nama Lampe. Lampe sebenarnya adalah nama bapaknya. Lampe dalam bahasa Bugis berarti panjang. Kakek Lam dulu memberi nama Lampe pada anaknya supaya panjang umur, panjang angan-angan(tinggi cita-cita), atau panjang rezeki(banyak rezeki). Selanjutnya ayah Lam memberi nama anaknya Lampugu. Meski nama Lampugu terkesan Bugis, tapi sesungguhnya meng-Indonesia, Lampugu berarti lampu penerang di gelap gulita. Itulah nama lengkap Lam. Dan begitulah orang-orang tua dulu memberi nama. Selalu terselip doa dibalik nama.
Sebenarnya yang membuat Lam tersenyum-senyum, karena yang ia maksudkan Lampe adalah diri Lam sendiri. Lam penulis. Begitulah nama Lampe versi Lam. Lam memang selalu mengangkat tema-tema berkenaan dengan dirinya sehingga banyak pembaca mencap dirinya sebagai penulis soliloquist.
Lam berhenti sejenak. Ada virus bergambar tengkorak mendadak mengangkangi tulisannya. Ia cepat memprogram program anti virus yang ia beli tadi. Klik. Gambar tengkorak menghilang seketika. Namun perasaan deg-degan Lam belum hilang. Ia takut datanya hilang.
Lam kembali melanjutkan tulisannya. Kali ini ia agak berhati-hati, tapi sedikit tergesa-gesa. Ia ingin secepatnya menyudahi tulisannya. Ia memang mengantuk dan lelah karena seharian menemani isteri dan anak-anaknya. Lam menutup cerita dengan kejutan-kejutan sekaligus menyedihkan.
Larut malam. Akhirnya, setelah dua jam lamanya Lam mengutak-atik kalimat menjadi paragraph-paragraf, tulisnnya selesai jua. Meski Lam belum memberi judul, tapi ia yakin tulisannya kali ini benar-benar membuat pembaca terharu atas kegigihan dan ketabahan seorang penulis yang sangat mencintai profesinya, seluruh honor tulisannya buat isteri dan ank-anaknya yang ia sangat cintai. Dari cinta untuk cinta. Begitulah Lam mengangkat tema cerita kali ini.
Tapi mendadak Lam cemas. Virus tengkorak kembali mengangkangi tulisannya. Lalu. Klik. komputer Lam mati seketika. Lam mendadak lemas. Karena ia tahu datanya ini kali tidak terselamatkan. Komputer tua miliknya tidak bisa lagi mengamankan data-data bila mati seketika.
Lam beranjak. Ia masuk kamar. Mengecup kening isteri dan anak-anaknya. Lalu tidur di sampingnya. Besok ia akan mengetik ulang lagi cerpennya. Ada senyum mengembang di wajahnya. Karena ia sudah menemukan judul yang cocok buat cerpennya. Seorang penulis dan komputer tuanya.

Makassar-Jakarta, Juli 2007

Catatan;
Lapundarek : Cerita rakyat Sulawesi Selatan

1. Cerpen “SEORANG PENULIS DAN KOMPUTER TUANYA dimuat Harian Fajar, Ahad, 9 Desember 2007