Kamis, 17 Maret 2011

dul abdul rahman, MELESTARIKAN HUTAN DALAM SASTRA

Oleh : Dul Abdul Rahman

Tak bisa dipungkiri bahwa lingkungan kita saat ini masuk dalam kategori krisis. Banyaknya bencana alam yang menimpa negeri ini karena alam dijamah dengan serakah oleh manusia yang berwajah tak ramah. Jamak manusia terlalu tamak mengeruk hasil hutan untuk kepentingan pribadi. Mereka tidak sadar bahwa ulahnya itu akan menimbulkan amarah alam di kemudian hari. Banjir bandang, erosi, longsor, adalah bahasa alam untuk menegur manusia yang kadang tak berperikemanusiaan dan berperikealaman.

Dengan amarah alam itu, maka krisis lingkungan terjadi di berbagai aspek, seperti krisis air, tanah, udara, bahkan krisis iklim. Bukan hanya itu, pun terjadi krisis lingkungan biologis dan lingkungan sosial. Krisis lingkungan biologis terjadi dengan tidak produktifnya lahan-lahan pertanian, pun punahnya flora dan fauna berupa satwa-satwa langka disekitar kita seiring dengan semakin menipisnya hutan.

Itulah akibat dari eksploitasi lingkungan yang semena-mena tanpa memikirkan efek yang akan ditimbulkannya kelak. Fenomena seperti ini seharusnya menyadarkan kita akan pentingnya menjaga dan “menghormati” lingkungan sekitar kita. Semua pihak seharusnya berperan mendorong sikap menjaga lingkungan, termasuk para sastrawan.
Untuk itu, saya mencoba mengemukakan gagasan-gagasan pelestarian hutan dalam novel saya Pohon-Pohon Rindu(PPR). Ada beberapa hal yang dikemukakan dalam novel tersebut.

Pertama. Kampanye mencintai hutan dan lingkungan sekitar seharusnya dilakukan secara dini. Kalau di perguruan tinggi dikenal organisasi pencinta alam semisal KORPALA (Korps Pencinta Alam), MAPALA (Mahasiswa Pencinta Alam), atau apapun namanya. Maka sebaiknya organisasi semacam ini harus diaktifkan pada siswa-siwa SMU. Hal ini dimaksudkan agar gerakan mencintai alam dan lingkungan mengakar di daerah-daerah dimana terletak hutan-hutan yang perlu dijaga dan dilestarikan. Dalam PPR, sekolompok siswa membentuk kelompok pencinta alam yang disebut Kompita. Program utamanya adalah menjaga hutan.

“Kami peduli Hutan Lindung Balang. Setiap hari minggu, kami menyusuri Hutan Lindung Balang. Setiap ketemu warga, kami memberikan pengarahan mengenai betapa pentingnya menjaga kelestarian hutan. Kami menjelaskan bahwa hutan sangat berperan dalam menjagaa ekosistem alam. Hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia. Hutan menjaga kestabilan udara. Di samping itu, hutan mencegah terjadinya banjir bandang. Intinya merusak hutan berarti merusak kehidupan itu sendiri.” (PPR hal 89)

Kedua. Local wisdom (kearifan lokal) harus diperhatikan. Termasuk penamaan dari hutan itu sendiri menjadi “hutan lindung”. Istilah ini sebaiknya diganti menjadi “hutan adat”.

“Menurut pendapatku, sebaiknya pemerintah tidak lagi memakai istilah hutan lindung, tetapi diganti saja dengan istilah hutan adat. Nama hutan adat lebih sakral daripada hutan lindung. Aku yakin, masyarakat takut membabat hutan adat karena terkait dengan hukum adat dan mitos setempat, sedangkan hutan lindung cuma penamaan saja, bahkan kadang tidak terlindungi.” (PPR hal 205)

Ketiga. Belajar pada kearifan orang Kajang di Bulukumba dalam menjaga dan memperlakukan hutannya.

“Masyarakat boleh menebang pohon di hutan, tetapi harus ada izin dan pertimbangan dari ammatoa dulu, karena hutan dan pohon terkait pasang, pertimbangan dari ammatoa mencakup jumlah, ukuran, tujuan penggunaan, serta jenis kayu yang akan diambil. Masyarakat yang menebang pohon harus menggantinya. Setiap penebangan satu pohon harus diganti dengan menanam dua pohon yang sejenis di lokasi yang ditentukan oleh ammatoa. Masyarakat yang sudah diberi izin menebang pohon diawasi oleh orang-orang kepercayaan ammatoa, tetapi ada kawasan hutan yang tak boleh ditebang sama sekali yaitu borong karamaya.” (PPR, hal 194)

Keempat. Memaknai bahwa bumi adalah ibu yang harus dicintai.

“Ibu dan ibu pertiwi adalah dua hal yang harus disayang karena dari keduanyalah sumber cinta dan kasih sayang yang suci. Agar seorang anak tumbuh dengan sehat dan cerdas, ia harus menyusu pada ibu. Dan, bila anak itu sudah dewasa dan ingin hidup bahagia dan sejahtera, maka ia harus menyusu pada ibu pertiwi. Bila ibu dan ibu pertiwi murka, maka tidak ada lagi kehidupan. Dan, yang paling harus dicamkan oleh semuanya adalah bahwa murka ibu dan murka ibu pertiwi merupakan murka Tuhan.” (PPR hal 237)

Kelima. Mengkampanyekan bahwa bumi itu adalah perempuan yang harus dijunjung tinggi. Sehingga seorang perempuan menjaga hutan karena sama dengan menjaga eksistensi dirinya sendiri. Pun kaum adam menjaga hutan karena sama dengan menjaga isteri, ibu, atau kekasihnya sendiri.

“Perempuan lebih menjiwai perannya sebagai anggota Kompita (Kelompok Pencinta Alam) karena alam identik dengan perempuan. Umar mengatakan bahwa alam memang berjenis kelamin perempuan. Buktinya, kita hanya menyebut ibu pertiwi bukan bapak pertiwi, atau ibu kota bukan bapak kota.” (PPR hal 95-96)

Keenam. Memaknai secara filosofis bahwa hutan adalah sosok kekasih yang harus dicintai dan dijaga keberadaannya.

“Aku berjanji akan menjaga dan melestarikan kawasan Hutan Lindung Balang sebagai tempat peristirahatanmu yang terakhir duhai cintaku. Aku akan menjaga seluruh hutan di Sinjai, bahkan di seluruh Indonesia dan dunia yang akan aku kunjungi kelak. Jangan lagi ada penggundulan hutan di sini. Jangan lagi ada penggundulan hutan di sana. Jangan lagi ada banjir bandang di sini. Jangan lagi ada banjir bandang di sana. Jangan lagi ada air mata yang membandang karena tertimpa banjir bandang. Maka tersenyumlah duhai pepohonan. Tersenyumlah duhai hutan. Tersenyumlah duhai kekasihku.” (PPR hal 349)

Begitulah, semoga saja poin-poin yang penulis ungkapkan di atas bisa menjadi bahan pertimbangan bagi siapa saja. Karena peran sebagai penjaga lingkungan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama sehingga kita bisa mendapatkan lingkungan yang baik sebagaimana tertera dalam UU RI No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai berikut:

* Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
* Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dan pengelolaan lingkungan hidup.

Menutup tulisan ini, sebagai “penjaga lingkungan”, mari mencamkan dialog Tuhan dengan Malaikat yang tertera dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 30: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman pada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Malaikat berkata: “Mengapa Engkau akan menjadikan khalifah di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Semoga saja kita bukan khalifah yang sejak awal sudah diwanti-wanti oleh malaikat untuk membuat kerusakan di bumi ini.

(Sastrawan dan peneliti budaya, Pengarang novel bertema lingkungan “Pohon-Pohon Rindu” aktif bersastra di Makassar)

Sumber Tulisan:
- www.aceh.tribunnews.com
- www.publiksastra.com

Senin, 14 Maret 2011

DUL ABDUL RAHMAN, MENULIS UNTUK KEBANGKITAN BUDAYA SULAWESI-SELATAN

OLEH: MUHAMMAD NURSAM

MESKIPUN kamu tidak punya apa-apa, tidak punya banyak uang. Tapi, jika kamu punya sesuatu yang bisa diwariskan dan bisa membuatmu dikenang, itu sudah lebih dari cukup.

Kata-kata itu meluncur dari mulut Dul Abdul Rahman. Sekira pukul 10 pagi, saya baru tiba di kediaman pribadi novelis Sulsel yang cukup produktif ini. Suasana di kediamannya cukup sepi. Dia tinggal seorang diri. Namun kesendiriannya itu terobati oleh buku-buku yang terpajang di rak pada kedua sisi dinding di rumahnya.

Saya mengamati rak buku tersebut. Didominasi oleh buku sastra dan budaya. Ada pula buku agama serta filsafat. Beberapa buku yang terpajang mencolok merupakan karyanya sendiri.

Nama lengkapnya Abdul Rahman R, namun dia lebih dikenal di dunia sastra sebagai Dul Abdul Rahman. Bagi pembaca setia Halaman Budaya FAJAR, tentu sudah tak asing lagi dengan nama ini. Saking produktifnya menulis tentang sastra dan budaya, nyaris tiap bulan tulisannya muncul di halaman tersebut.

Bang Dul, demikian sapaannya, mengaku mulai aktif menulis sejak masih duduk di bangku SMA. Saat itu karya-karyanya sudah dimuat di Surat Kabar Harian (SKH) Mimbar Karya. Kemudian pada tahun 1993 dia terdaftar sebagai mahasiswa Unhas. Pada kurun waktu 1993 hingga 1997, dia cukup produktif menulis cerpen dan puisi.

"Seusai kuliah, saya menjadi dosen yayasan di STIMIK AKBA. Hingga lima tahun setelahnya, saya hanya fokus bekerja sebagai dosen dan vakum berkarya," tuturnya mengenang kembali masa-masa paceklik karya yang dialaminya.

Ternyata, Harian FAJAR punya andil besar membangkitkan kembali semangat Dul Abdul Rahman untuk menulis. Dia kembali menggeluti dunia tulis menulis setelah terpilih sebagai Dewan Pembaca Harian FAJAR.

"Awal kebangkitan saya menulis, ketika menjadi anggota Dewan Pembaca Harian FAJAR pada 2002 silam. Ketika itu, saya diberi tugas membaca dan mengamati Harian FAJAR edisi Minggu. Di situ saya melihat, banyak yang menulis asal saja, tanpa menggali nilai-nilai budaya yang ada di Sulsel. Sejak itu hingga sekarang, saya bertekad menekuni dunia sastra dan budaya," ungkapnya.

Sebagai seorang penulis dan pekerja budaya, Dul Abdul Rahman bertekad memperkenalkan Epos La Galigo melalui novel. "Proyek besar"-nya saat ini adalah berusaha menovelkan kitab La Galigo dengan bahasa populer.

"La Galigo adalah karya besar serupa Mahabarata dari India. Sayang sekali tidak ada gaungnya karena tidak ada pembacanya. Saya sedang menyiapkan novel trilogi tentang La Galigo," terang alumni SMA Negeri 1 Bikeru Sinjai ini. (muhammadnursam@ymail.com)

Sumber: Harian Fajar, Ahad 13 Maret 2011

DUL ABDUL RAHMAN, BELAJAR SASTRA DARI SANG AYAH

ANAK tertua dari enam bersaudara ini, semasa kecil hingga tamat SMA, bermukim di Kabupaten Bulukumba bersama kelima saudara dan orang tuanya. Ayahnya bernama Rappe Nangko Daeng Patahang, dan ibunya bernama Suleha. Dia memiliki nama kecil Beddu.

Dul mengisahkan, sejak kecil ayahnya sering mendongeng untuknya dan adik-adiknya sehabis mengaji. Dongeng tersebut merupakan hadiah ayahnya karena telah melaksanakan salah satu ibadah Islam, mengaji. Dongeng itu ternyata adalah sastra lisan I La Galigo yang telah dihafal luar kepala oleh ayahnya.

Dia memperlihatkan rekaman gaya bercerita Sang Ayah yang merupakan asli Bone dan Bulukkumba. Kisah dongeng tersebut berbahasa Bugis asli. "Dari kisah yang diceritakan oleh ayah saya itu, saya yakin I La Galigo adalah sastra lisan. Awalnya kisah ini sifatnya inklusif. Hanya diwariskan buat mereka yang berdarah bangsawan," bebernya.

Kenapa kitab La Galigo tidak top seperti kisah Mahabarata dan Ramayana? Itu kata Dul karena kedua kitab tersebut merupakan kitab setengah suci agama Hindu. Sedangkan Kitab I La Galigo sesungguhnya adalah kitab agama Tolotang di Sidrap. Agama ini sangat berbeda dengan Hindu, tapi sayang pemerintah kita menganggapnya sebagai bagian agama Hindu. "Sebagai seorang budayawan, saya berharap agama ini dianggap sebagai agama tersendiri dan diakui," ujarnya.

Tolotang merupakan agama Bugis Kuno. Pendeta mereka disebut Bissu dan nabi mereka adalah Sawerigading, salah seorang tokoh I La Galigo. "Meskipun ayah saya hanya lulusan SMP, namun beliau sangat cerdas. Dia menghafal isi kitab I La Galigo. Dan itu yang ingin saya tuliskan saat ini," ucapnya.

Alumni Sastra Inggris Unhas ini mengaku, orangtuanya tak memiliki biaya untuk menjadikannya sarjana. Karena itu, sejak kecil dia dan kelima saudaranya telah dibagikan tanah. "Ketika saya hendak kuliah, tanah tersebut dijual untuk pendidikan. Karenanya saya kuliah dengan sungguh-sungguh. Jika saya kuliah lantas tidak mendapatkan apa-apa, sama saja saya mati konyol," tuturnya, mencoba bercanda. (muhammad nursam)

Sumber: Harian Fajar, Ahad 13 Maret 2011

DUL ABDUL RAHMAN, BULUKUMBA MENGINSPIRASI KARYANYA

DIBANDING beberapa kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan, termasuk Sulawesi Barat, Bulukumba termasuk daerah yang menurut Dul Abdul Rahman, merupakan gudangnya penulis-penulis bertalenta. Bahkan fiksi pertama yang dibacanya sebuah novel berjudul "Pulau" yang ditulis sastrawan asal Bulukumba, Aspar Paturusi.

Sekarang ini lanjut Dul, penulis-penulis Bulukumba semakin menggeliat. Regenerasi penulis tersebut, terlihat dari munculnya dua sastrawan muda asal Butta Panrita Lopi tersebut, Anis Kurniawan dan Andhika Mappasomba. "Saya yakin geliat sastra akan semakin kentara di Bulukumba. Dua anak muda itu memang sangat mencintai setengah mati Bulukumba. Semoga Bulukumba juga kian menyayanginya," katanya.

Bagi Bang Dul, sapaannya, Bulukumba membuatnya selalu meluah hibah, meluah rindu yang tiada terperikan. Bahkan, katanya, ketika menjalani studi S1 di Malaysia, khususnya di Kedah bagian utara, dia serasa berada di Bulukumba. Pohon-pohon karet di Kedah Darul Aman baginya serupa pohon-pohon karet di Bulukumba. Bedanya sebut dia, pohon-pohon karet di Bulukumba kadangkala kejam dan tidak bersahabat dengan para petani. Sewaktu kejadian tragis meninggalnya dua petani di Bulukumba pada tragedi Senin Berdarah 21 Juli 2003 saya berada di Kedah Darul Aman dan menangis mendengar Bulukumba menjadi Darul "tak" aman. "Mengenai gugurnya dua pahlawan petani Barra bin Badulla dan Ansu bin Musa menginspirasiku menulis novel berjudul Pohon-Pohon Meranggas," kisahnya.

Dul sendiri, agak membagi cinta, karena meski dilahirkan dari "rahim" Bulukumba, dirinya dibesarkan di Sinjai dari usia 9 tahun. Bahkan pernah menimba ilmu diMalaysia beberapa tahun lamanya. Daerah-daerah tersebut lanjut Dul sangat dia sayang. Dul adalah lelaki Bugis yang menganut filosofi air. Dia sering teringat pesan kakeknya. "Engkau lelaki Bugis anakku. Orang Bugis itu identik dengan air. Air itu akan membentuk seperti tempatnya. Ditaruh di baskom membentuk baskom, ditaruh di bejana bundar membentuk bundar, ditaruh di kolam segiempat membentuk segiempat, ditaruh di tempat yang lonjong membentuk lonjong," ujar Dul menukil pesan kakeknya.

Meski begitu, tanah, air, angin, jagung, padi Bulukumba membentuk embrio tubuhnya. Tubuh yang kemudian mengikuti jejak kisah orang-orang Bugis, sebagai Pasompe' atau perantau. (muhammad nursam)

Sumber: HARIAN FAJAR, Ahad 13 Maret 2011

Jumat, 11 Maret 2011

CERPEN dul abdul rahman: RAKSASA LOMPOBATTANG

RAKSASA LOMPOBATTANG
Cerpen: dul abdul rahman

Kabut masih membungkus pagi di Kampung Pulosandi. Tetapi warga terlihat sudah ramai beraktifitas. Nun jauh di sana terlihat halimun masih setia menyelimuti puncak Gunung Lompobattang dan Gunung Bawakaraeng yang masih terlelap. Semalaman memang hujan turun lebat yang membuat kedua puncak gunung yang dikeramatkan oleh warga Sulawesi Selatan tersebut nampak kedinginan. Lalu perlahan-lahan halimun tersingkap kemudian menghilang ketika sang raja siang muncul menyapa kedua puncak gunung tersebut. Sang raja siang dengan sinarnya menepati janjinya untuk selalu membangunkan kedua raksasa yang setia tidur berdampingan selama ribuan tahun.
Warga di Kampung Pulosandi percaya bahwa mereka harus bangun sebelum matahari membangunkan Raksasa Lompobattang. Menurut kepercayaan mereka yang diwariskan secara turun temurun, apabila mereka didahului bangun oleh Raksasa Lompobattang, maka rezekinya akan menghilang diambil oleh Raksasa Lompobattang tersebut.
Konon, Gunung Lompobattang pada mulanya adalah seorang raksasa sakti yang berperut besar. Raksasa itu sangat kejam. Ia selalu memangsa manusia dan semua hasil tanaman yang ada di wilayah kekuasaannya. Pada suatu ketika Raksasa Lompobattang terlalu kekenyangan dan sangat mengantuk. Lalu raksasa itu tertidur dan hanya akan terbangun sebentar mencari makanan bersama munculnya matahari pagi. Ketika matahari naik sepenggalah maka raksasa itu tertidur kembali. Tapi sebelum tertidur, raksasa lompo battang1 tersebut bersumpah tidak mau lagi memakan daging manusia. Raksasa itu hanya akan memakan hasil tanaman manusia, tetapi raksasa tersebut hanya akan memakan tanaman yang tidak dijaga oleh pemiliknya. Konon Lompobattang memakan tanaman dengan cara mengambil sumange2 tanaman tersebut sehingga tanaman tersebut tidak berbuah dengan baik. Bila Raksasa Lompobattang telah mengambil sumange buah semangka maka buah itu tidak terasa manis lagi, ataukah kalau Lompobattang telah mengambil sumange padi maka bulir-bulir padi tidak padat berisi. Bahkan bila Lompobattang mengambil sumange pohon pisang, maka daun pisang itu langsung memerah kemudian mati, bila pisang sudah berbuah maka buahnya akan menjadi layu, atau warga setempat menyebutnya utti ujaneng3
Warga tidaklah terlalu khawatir dengan kepercayaan akan datangnya raksasa yang akan mengganggu tanaman setiap pagi tersebut, karena mereka adalah pemeluk Islam yang taat yang harus bangun di awal pagi untuk menunaikan sholat Subuh. Maka sesudah menunaikan shalat Subuh, warga langsung beraktifitas seolah berebutan menyambut munculnya matahari dan Raksasa Lompobattang yang datang menawarkan sumange kehidupan. Warga memang juga percaya bahwa Lompobattang juga adalah raksasa yang baik, bila pagi-pagi sekali ingin mengambil sumange tanaman petani, tetapi petani tersebut sudah ada di kebunnya maka sebaliknya Lompobattang akan memberikan tambahan sumange untuk tanaman tersebut.
Pagi yang sejuk kali itu aktifitas warga Kampung Pulosandi terlihat lebih ramai daripada hari biasanya. Hari itu memang dianggap hari baik oleh warga petani jagung untuk acara selamatan memulai memanen buah jagung muda.
Salah seorang petani yang terlihat sangat sibuk mempersiapkan acara selamatan tersebut adalah Mappiasse. Ia adalah tokoh masyarakat di kampung itu sekaligus dianggap sebagai orang yang berada.
Hari itu acara selamatan dimulai dari rumah Mappiasse sebagai tokoh masyarakat. Acara itu dipimpin langsung oleh seorang imam kampung. Imam kampung tersebut yang mengunjungi rumah warga secara bergilir untuk memimpin acara dan doa selamatan. Meski warga melakukan acara selamatan di rumah masing-masing tetapi mereka tetap berkumpul dan berbondong-bondong dari rumah ke rumah mengikuti langkah sang imam kampung.
Di rumah Mappiasse terlihat warga bercengkerama sambil menikmati barobbo4 dan jagung muda. Rumah pertama yang mendapat giliran selamatan biasanya memang mendapat proporsi waktu yang lebih besar karena di tempat itulah awal mula menghadirkan dan mendoakan sumange jagung. Bahkan kalau imam kampung tak mampu mengunjungi rumah-rumah warga, maka cukuplah salah satu rumah yang mewakili saja. Tetapi warga selalu ngotot agar rumahnya dikunjungi oleh sang imam dan warga lainnya agar berkah di rumah mereka semakin melimpah ruah.
Setelah berdoa untuk keselamatan warga dan keberhasilan tanaman jagung, imam kampung tersebut bercerita kepada warga.
“Sebaiknya kita harus berjaga-jaga dan waspada di Kampung Pulosandi ini.”
“Ada apa Pak Imam?” Sergah Mappiasse heran.
“Tadi malam saya bermimpi agak aneh yang mungkin sebagai tanda-tanda akan datangnya suatu musibah secara tiba-tiba di kampung kita ini.”
“Musibah?” Koor warga mendengar cerita imam kampung. Tentu saja warga sangat heran dan ketakutan karena mereka yakin bahwa tidak mungkinlah seorang imam berbohong.
“Begini!” Imam kampung berhenti sejenak untuk memperbaiki letak duduknya. Dengan mimik penuh kesungguhan, ia bercerita.
“Dalam mimpi tersebut, saya melihat Gunung Lompobattang menangis tersedu-sedu di hadapan para gunung yang ada di Sulawesi Selatan, ada Gunung Bawakaraeng, Gunung Latimojong, Gunung Bulusaraung, Gunung Baliase, serta gunung-gunung kecil lainnya di Pulau Sulawesi. Ketika Gunung Latimojong bertanya mengapa ia menangis, Gunung Lompobattang menjawab bahwa ia sangat bersedih hati melihat wilayah kekuasaannya berhasil dikuasi oleh raksasa yang lain. Raksasa tersebut sangatlah kejam dan lalim. Pun raksasa tersebut tidak berperikemanusiaan. Tapi Gunung Lompobattang tak bisa melawannya.”
“Siapa raksasa itu?” Mappiasse memintas pembicaraan imam kampung. Sementara hadirin yang lain sangat serius mendengarkan cerita imam kampung yang agak berbau horror tersebut .
“Saya tidak sempat mendengar penjelasan Gunung Lompobattang selanjutnya karena saat itu tiba-tiba saya berlari menuju rumah saya karena rumah saya tersebut dikepung oleh raksasa-raksasa bertopeng dan bersenjata yang akan merobohkannya.”
“Apakah mungkin akan ada raksasa-raksasa bersenjata yang akan menembaki kampung halaman kita?” Seorang warga terlihat serius bertanya.
“Ini hanya sekedar mimpi saja,” jawab imam kampung mencoba meredakan ketegangan dan keingintahuan warga tersebut.
“Tapi bukankah mimpi adalah sebuah tafsir kehidupan, Pak Imam?” Seorang warga lainnya nyeletuk.
“Ya, makanya kita harus berhati-hati dan berjaga-jaga di kampung ini. Kuncinya adalah kita harus bersatu padu. Mali siparappe, rebba sipatokkong, malelu sipakainge. Padaidi padaelo, sipatuo sipatokkong.” (Jika hanyut aku akan menolongmu, jika tumbang aku akan menegakkanmu, jika lupa aku akan menyadarkanmu. Seia sekata saling membantu dan saling memajukan). Mappiasse ikut menjelaskan sambil mengutip pepatah Bugis dari kita lontarak5.
Warga terlihat mengangguk-angguk sambil tersenyum-senyum mendengar penjelasan Mappiasse yang sangat mengena di hati mereka. Kemudian mereka melanjutkan acara selamatan sambil berkeliling dari rumah ke rumah dengan dikomandoi oleh imam kampung dan Mappiasse. Meski dihimpit oleh mimpi ditembaki oleh orang-orang bertopeng dan bersenjata, imam kampung tetap bersemangat mengunjungi rumah-rumah warga, saat-saat seperti itu memang ia mendapatkan tambahan uang karena pada acara selamatan tersebut terdapat lipatan daun waru yang berisikan uang dari yang punya hajatan. Daun waru itu diserahkan oleh yang berhajat kepada sang imam pada saat sang imam selesai membaca doa selamatan. Jumlah uang yang diisikan tergantung pada keikhlasan warga. Tapi sekali lagi imam kampung sangat senang karena warga sangat percaya bahwa semakin banyak ‘keikhlasan’ semakin banyak pula rezeki yang akan datang. Untuk perkara ini imam kampung sangat mendukung kepercayaan warga. Bahkan imam kampung merasa tidak afdal ceramahnya tanpa menyinggung makna keikhlasan dalam kaitan ini.
Meski begitu, kebanyakan warga Kampung Pulosandi terlihat murung karena masih terbawa oleh arus cerita imam kampung. Sebagian warga menyesali imam kampung yang menceritakan mimpinya yang dianggap meresahkan warga Kampung Pulosandi. Tetapi sebagian besar warga senang karena cerita tersebut sebagai peringatan buat mereka untuk lebih berhati-hati dan berjaga-jaga. Bahkan selama perjalanan dari rumah ke rumah, Mappiasse sudah merencanakan akan mengaktifkan kembali ronda malam. Ronda malam memang tidak diaktifkan di kampung itu karena selama itu kampung itu aman dan tenteram. Tak ada pencurian, pun tak ada perselisihan. Warga selalu akur dan tafakur.
“Benarkah Raksasa Lompobattang akan bangkit lagi lalu memporak-porandakan rumah dan tanaman-tanaman kita?” Seorang warga kembali bertanya pada Mappiasse.
Sejenak mereka terdiam. Firasat mereka refleks menangkap sesuatu. Sebagai orang desa, biasanya mereka memiliki indera keenam untuk menangkap sesuatu yang akan merugikan mereka. Lalu Mappiase mencoba memecah kesunyian.
“Raksasa Lompobattang itu…” Mappiasse menghentikan kalimatnya karena semua yang hadir mengalihkan perhatian pada seorang warga yang tiba-tiba berlari ke arah rumah Mappiasse.
“Apa yang terjadi Beddu Rassa?” Tanya Mappiasse.
“Di…di bagian u…u…utara, ke…ke…kebun-kebun jagung milik pe…petani di…dibuldozer.”
“Siapa yang membuldozer?” Warga menatap Beddu Rassa dengan heran.
“Ta…tanah pe…petani di…dibuldozer oleh ee…eeee.”
“Oleh raksasa?” Seorang warga yang terus mengingat mimpi imam kampung mencoba menebak.
“Oo…oleh Pe…pe…” Beddu Rassa masih terengah-engah. Tapi warga sudah paham dengan maksud Beddu Rassa.
Warga terlihat kasak-kusuk, Mappiasse terlihat berbincang-bincang dengan imam kampung dan seorang warga yang juga dituakan. Sesaat kemudian, Mappiasse berkata, “Kawan-kawan! Cepat hubungi semua warga yang ada di Kampung Pulosandi ini supaya berkumpul sekarang ini juga.” Semua warga terpencar mengikuti instruksi Mappiasse. Tidak berapa lama kemudian terlihat ratusan warga berkumpul di depan rumah Mappiasse. Mereka membawa apa saja yang mereka anggap bisa membela diri. Parang, batang kayu, batang bambu, bahkan ada juga yang membawa cangkul karena sedang berada di kebun ketika menerima panggilan.
“Ayo semuanya, kita berangkat menuju kebun jagung yang dibuldozer.” Mappiasse memberi aba-aba.
Ketika mereka tiba di lokasi dimana kebun-kebun mereka dibuldozer, mereka langsung dicegat oleh sekumpulan massa yang berpakaian ninja. Pasukan ninja tersebut langsung menyerang rombongan petani yang ingin mempertahankan kebun-kebunnya. Agar tidak terjadi korban di pihak petani, Mappiasse langsung memberi aba-aba.
“Cepat tinggalkan tempat ini! Pasukan Raksasa Lompobattang benar-benar menyerang kita.”
“Bukankah Raksasa Lompobattang muncul di kampung kita hanya pada pagi hari sebelum matahari terbit.” Ujar Beddu Rassa.
“Raksasa Lompobattang sudah menjelma jadi manusia.” Jawab Mappiasse memerintahkan teman-temannya segera meninggalkan lokasi itu.
“Atau mungkin manusia yang menjelma jadi raksasa.”
Tidak ada yang perduli dengan pernyataan Beddu Rassa. Mereka semua berlari menyelamatkan diri.
Sinjai-Bulukumba, 2010

1. lompo battang (Bahasa Makassar) = perut besar
2. sumange (Bahasa Bugis) = spirit
3. utti ujaneng (Bahasa Bugis) = pisang gila
4. barobbo = bubur yang terbuat dari jagung muda
5. lontarak = tulisan yang berisi petuah-petuah dalam bahasa Bugis-Makassar

Sumber: Koran Fajar, Ahad 6 Maret 2011

TENTANG dul abdul rahman

Dul Abdul Rahman. Bekerja sebagai sastrawan dan peneliti. Ia menamatkan pendidikan menengahnya di SMA Negeri Bikeru Sinjai Selatan pada 1993. Pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (1993-1998), Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar (2001-2002), Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (2004-2009). Aktif bersastra di Indonesia dan Malaysia.

Tulisan-tulisannya berupa karya sastra, kritik sastra, dan artikel budaya pernah dimuat koran lokal dan nasional di Indonesia dan Malaysia.

Beberapa karya sastranya:
  1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan Cerpen, Nala Makassar, 2006)
  2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, DIVA Press Yogyakarta, 2009)
  3. Daun-Daun Rindu (Novel, DIVA Press Yogyakarta, 2010)
  4. Perempuan Poppo (Novel, Ombak Yogyakarta, 2010)
  5. Sabda Laut (Novel, Ombak Yogyakarta, 2010)
  6. Sarifah (Novel, DIVA Press Yogyakarta, 2011)
  7. La Galigo, Napak Tilas Manusia Pertama di Kerajaan Bumi (Novel Klasik, DIVA Press Yogyakarta, 2012)
  8. La Galigo 2, Gemuruh Batin Sang Penguasa Laut (Novel Klasik, DIVA Press Yogyakarta, 2012).
  9. Insyaallah, Aku Bisa Sekolah (Novel, DIVA Press Yogyakarta, 2015)
  10. Pohon-Pohon Peluru (Kumpulan Cerpen, Pustaka Puitika Yogyakarta 2015)
  11. Hikayat Cinta Lelaki Monyet dan Kupu-kupu Bantimurung (Novel, Ombak Yogyakarta, 2016)
  12. Terbunuhnya Sang Nabi (Novel, Penerbit Kakilangit Jakarta, 2017)
  13. Pada Sebuah Perpustakaan di Surga (Novel, Ombak Yogyakarta, 2017)

Karya-karyanya banyak dijadikan bahan penelitian akademik oleh mahasiswa untuk meraih gelar sarjana dan pascasarjana, diantaranya:



  1. Nilai Budaya dalam Novel Daun-Daun Rindu karya Dul Abdul Rahman. (Tesis 2017, Ria Prasetyaningrum, Program S2 Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Malang).

  1. Kadar Realisme Magis dalam Novel Perempuan Poppo karya Dul Abdul Rahman. (Tesis 2014. Burhan Kadir, Program S2 Studi Ilmu Sastra, FIB Universitas Gajah Mada, Yogyakarta).

  1. Nilai-nilai Religius dalam Novel Insyaallah Aku Bisa Sekolah karya Dul Abdul Rahman. (Tesis 2015. Khomsatun, Program S2 Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Islam Malang).

  1. Novel Perempuan Poppo karya Dul Abdul Rahman: Analisis Plot dan Kesatuan Antar Unsur. (Skripsi 2012. Retno Susanti, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UGM Yogyakarta).

  1. Nilai Genonik dalam Novel Pohon-Pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman: Pendekatan Semiotik. (Skripsi 2010, Hufrawati, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS UNM Makassar)

  1. Mimpi dan Fantasi dalam Novel Pohon-Pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman dan Alternatif Bahan Ajar Apresiasi Sastra bagi Siswa SMA. (Skripsi 2011, Esi Susi Pratiwi, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS IKIP PGRI Semarang)

  1. Aspek Psikologi dalam Novel Daun-Daun Rindu karya Dul Abdul Rahman dan Implementasi Pembelajarannya di Kelas XII SMK Negeri 1 Jepara. (Skripsi 2011, Rohmad Widodo. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS IKIP PGRI Semarang.

  1. Studi Alur Cerita Novel Pohon-Pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman dengan Pendekatan Stuktural (Skripsi 2011, Nairawati, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, STKIP Yapim Maros)

  1. Kode Genonik dalam Novel Pohon-pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman: Suatu Tinjauan Roland Barthes. (Skripsi 2011, Yuliana, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS UNM Makassar)

  1. Permasalahan Agraria dalam Novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman: Tinjauan Sosiologi Sastra (Skripsi 2012, Riani Eka Saputri, Mahasiswa STKIP PGRI Pacitan Jawa Timur)

  1. Gaya Bahasa Novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman. (Skripsi 2012, Erti Erriyawati, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Unismuh, Surabaya.

  1. Konflik Sosial dalam Novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman. (Skripsi 2015, Vegi Nidia Arsya, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP STKIP PGRI Sumatra Barat)

  1. Analisis Tokoh Sawerigading dalam Novel La Galigo karya Dul Abdul Rahman (Suatu Tinjauan Karakter). (Skripsi 2012. Ridwan Mansyur, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Unismuh Makassar).

  1. Analisis Karakter Tokoh Utama Perempuan dalam Novel Pohon-pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman. (Skripsi 2012. Asir Aswandi Jalil, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP Muhammadiyah Bulukumba).

  1. Analisis Nilai Sipakatau dalam Novel Pohon-Pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman. (Skripsi 2011. Suhena, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Unismuh Makassar).

  1. Eksistensi Tokoh Wanita dalam Novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman. (Skripsi 2013, Mardiana, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Unismuh Makassar).

  1. Eksistensi Sipakatau dalam novel Sabda Laut karya Dul Abdul Rahman. (Skripsi 2013, Andi Paramata, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,  FKIP Unismuh Makassar).

  1. Nasionalisme dalam Novel Daun-daun Rindu karya Dul Abdul Rahman. (Skripsi 2013, Uci Novita Sari, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Bung Hatta Padang)

  1. Analisis Nilai-nilai Ekologi dalam Novel Pohon-pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman (Suatu Tinjauan Strukturalisme Genetik Goldman). (Skripsi 2014, Darwis, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Unismuh Makassar).

  1. Analisis Nilai Pendidikan dalam Novel Insyaallah Aku Bisa Sekolah karya Dul Abdul Rahman. (Tesis 2015, Yuspita Urai Mega, FKIP IKIP PGRI Pontianak).

  1. Inovasi Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Insyaallah Aku Bisa Sekolah karya Dul Abdul Rahman. (Skripsi 2015, Sunarsih, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Nusantara PGRI Kediri).

  1. Perspektif Kehidupan Sosial dalam novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman. (Skripsi 2016, Mirna Devi Anita, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Nusantara PGRI Kediri).

  1. Nilai Moral dalam Novel Perempuan Poppo karya Dul Abdul Rahman. (Skripsi 2016, Muh Surya Pratama, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Unismuh Makassar).

  1. Analisis Karakter Tokoh Protagonis dan Antagonis Novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman dengan Model Pembelajaran Kooperatif Siswa Kelas VII SMP Muhammadiyah 04 Medan. (Skripsi 2017, Rahmat Kartolo, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah Medan).

  1. Nilai Perjuangan Tokoh Utama Novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman. (Skripsi 2017, Agus Setiawan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP STKIP PGRI Ponorogo).

  1. Analisis Nilai Pendidikan Novel Insyaallah Aku Bisa Sekolah karya Dul Abdul Rahman dan Implementasinya pada Pembelajaran Pola Gilir dalam Berkomunikasi Siswa SMK kelas XI Tahun Pelajaran 2015/2016. (Skripsi 2017, Yeni Charnia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo.

  1. Analisis Citra Wanita dalam Novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman. (Skripsi 2018, Yuhafliza, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Almuslim Bireuen Aceh).

  1. Fenomena Sosial dan Pesan Religius dalam Novel Terbunuhnya Sang Nabi karya Dul Abdul Rahman. (Skripsi 2018, Ratih Aulia Azhar, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Trunojoyo Madura Jawa Timur).

  1. Motivasi Diri Menyongsong Masa Depan: Kajian Psikologi Sastra dalam Novel Insyaallah Aku Bisa Sekolah karya Dul Abdul Rahman dan Implementasinya Sebagai Bahan Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA Negeri 2 Sukoharjo. (Skripsi 2018, Erma Desy Ismail, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta, Solo Jawa Tengah).


Alamat email dulabdul@gmail.com Penulis bisa juga ditemui di blog pribadinya www.darsastra.blogspot.com. Facebook Page: dul abdul rahman. Twitter: @dulabdulrahman


Rabu, 09 Maret 2011

Tentang Novel: SABDA LAUT

SINOPSIS
SABDA LAUT
Samad adalah anak nelayan kecil yang mempunyai cita-cita untuk bersekolah tinggi-tinggi. Samad bercita-cita ingin bersekolah di sekolah pelayaran BP2IP Barombong selepas menamatkan pendidikan dari SMP Negeri 15 Makassar. Daeng Marewa, ayah Samad, memang sangat mendukung anaknya untuk bersekolah tinggi-tinggi. Daeng Marewa sangat menyesal karena semasa muda dulu ia tidak bersekolah tinggi-tinggi padahal dulu orang tuanya termasuk orang terkaya di daerah Barombong sebelum bangkrut.
Samad mempunyai teman sepermainan bernama Sapri. Ayah Sapri bernama Daeng Bollo juga adalah nelayan kecil yang merupakan teman baik Daeng Marewa, ayah Samad. Tetapi awalnya Daeng Bollo menganggap pendidikan tidak penting karena ia melihat banyak anak yang sudah sekolah tetapi ujung-ujungnya tetap jadi nelayan. Itulah sebabnya Daeng Bollo tidak menyekolahkan anak laki-lakinya Sapri. Padahal Sapri ingin sekali bersekolah seperti halnya Samad.
Akhirnya pada suatu ketika Daeng Bollo sadar akan pentingnya sekolah. Ia mendapatkan pencerahan dari Daeng Marewa. Sapri pun sangat senang bisa bersekolah kembali. Ia pun sangat berterima kasih kepada Samad karena ayah Samadlah yang menasehati ayahnya agar ia disekolahkan.
Samad dan Sapri bisa kembali bersama bersekolah. Tetapi karena Sapri sudah menganggur satu tahun, ia menjadi adik kelas Samad di sekolah. Tetapi kedua anak nelayan kecil ini saling memotivasi dan saling bersaing positif dalam belajar.
Untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai anak nelayan miskin tetapi pintar dan mempunyai tekad untuk bersekolah tinggi-tinggi. Mereka memperdalam bahasa Inggeris mereka dengan belajar otodidak. Bahkan keduanya selalu menggunakan bahasa Inggeris bila bertemu di Sungai Je’neberang atau Pantai Barombong. Hingga akhirnya masyarakat sekitar pun memberi gelar “Bule Pantai Barombong.”
Untuk lebih memacu semangat mereka untuk belajar, mereka juga bertanding untuk mendapatkan ranking tertinggi di kelasnya masing-masing. Yang kalah akan mentraktir yang menang untuk menikmati coto Makassar sesuai dengan kesepakatan mereka.
Sebagai anak muda, bukan hanya bersaing dalam pelajaran, pun mereka bersaing dalam mendapatkan hati perempuan. Perempuan yang menjadi incaran mereka adalah Subihawati, anak seorang haji yang kaya di kampung Barombong. Samad yang merasa lebih senior mengaku kepada Sapri bahwa ia sudah berpacaran dengan Subihawati. Pengakuannya secara sepihak tersebut membuat Samad kian belajar dengan giat. Karena menurutnya, untuk membuat hati Subihawati tertarik padanya, ia harus punya prestasi bahkan kalau perlu ia mengalahkan prestasi Subihawati. Subihawati memang adalah cewek primadona, selain kaya dan cantik, ia juga selalu ranking satu. Samad merasa satu-satunya yang ia bisa andalkan di depan Subihawati adalah prestasi.
Meski bersaing mendapatkan perempuan idamannya, Samad dan Sapri tetap akur dan rukun, bahkan keduanya semakin termotivasi untuk belajar. Mereka ingin membuktikan bahwa anak nelayan miskin pun bisa berprestasi. Kedua ayah mereka pun sangat mengapresiasi anak-anak mereka. Pada suatu ketika Samad dan Sapri mendapatkan hadiah sepeda kumbang dari ayah mereka. Awalnya Samad malu dengan sepeda itu karena teman-temannya di sekolah memakai sepeda keluaran terbaru yang keren seperti sepeda merek United atau Polygon. Tetapi akhirnya Samad bergembira dengan sepeda tersebut.
Hari-hari berlalu, Samad dan Sapri semakin menunjukkan perestasinya, bahkan keduanya menjadi ikon bagi anak-anak nelayan miskin.
Namun terjadi suatu peristiwa yang membuat cita-cita Samad seolah kandas. Ayah Samad, Daeng Marewa mengalamai musibah di laut. Perahunya tenggelam, ia pun meninggal dunia. Samad sangat terpukul dengan musibah yang menimpa ayahnya. Yang membuat Samad semakin masygul karena ibunya juga menderita kelumpuhan. Namun Samad mencoba bangkit. Ia memang sudah mendapatkan doktrin laut dari almarhum ayahnya bahwa ia adalah anak laut. Ia adalah sabda laut. Anak laut bukan sosok penakut apalagi pengecut untuk menjalani hidup.
Lalu untuk menopang kehidupannya, Samad berusaha mengganti peran ayahnya. Tapi ia juga bertekad untuk tetap bersekolah. Samad akhirnya menjadi penjual kue jalangkote keliling kampung Barombong. Kue tersebut dibuat sendiri oleh Samad bersama ibunya. Meski lumpuh, ibunya tetap bisa membuat kue. Samad bertekad untuk membantu ibunya dan adik-adiknya. Tentu saja, sejak menjadi penjual kue keliling dengan sepeda kumbang, prestasi Samad agak menurun. Ia memang harus membagi waktu antara belajar dan bekerja. Tapi Samad tetap senang karena ia mempunyai teman baik yang selalu memotivasinya. Sapri dan ayahnya memang sangat perhatian kepada Samad
Karena keadaannya itulah, Samad sudah melupakan mimpi-mimpinya untuk mendapatkan Subihawati, anak pak haji. Samad merasa ia tidak pantas lagi mendambakan gadis manis tersebut.
Adalah waktu yang terus berjalan hingga akhirnya tibalah saat pengumuman kelulusan ujian nasional SMP. Menjelang pengumuman kelulusannya, Samad sangat sedih karena ia tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Tetapi ia bertekad bersekolah pada tahun-tahun berikutnya karena selama ia menganggur sekolah, ia akan bekerja keras untuk mengumpulkan uang. Bahkan cita-cita utamanya ingin bersekolah di BP2IP Barombong. Sekolah pelayaran tersebut memang sudah melahirkan ribuan pelaut-pelaut ulung.
Pada hari H pengumuman kelulusan, Samad mengunjungi pusara ayahnya untuk mendoakan arwah ayahnya. Pun ia ingin memohon maaf pada ayahnya karena ia tidak bisa melanjutkan sekolah tahun itu. Tetapi untuk mewujudkan cita-cita almarhum ayahnya, ia bertekad untuk sekolah di tahun ajaran berikutnya. Setelah menerima amplop pengumuman kelulusan, Samad bermaksud membuka amplop tersebut di depan pusara ayahnya. Tetapi lokasi makam ayahnya sangat ramai karena kebetulan lokasi pemakaman tersebut terletak di depan sekolahnya. Padahal hari itu banyak orang tua siswa berdatangan untuk melihat kelulusan anak-anak mereka.
Akhirnya Samad mengayuh sepeda kumbangnya menuju Pantai Barombong. Ketika berada di Pantai Barombong, Samad memang merasa seolah-olah bertemu dengan ayahnya. Samad pun menangis sejadi-jadinya ketika ia membuka pengumuman kelulusan. Ia pun lulus dengan angka tertinggi di sekolahnya mengalahkan prestasi Subihawati.
Samad sedih. Ia menghadap laut. Ia seolah ingin berkeluh kesah pada ayahnya. Airmatanya pun menyatu dengan air laut. Di saat itu tiba-tiba datang seorang perempuan. Perempuan itu adalah Subihawati. Ia datang bersama dengan kakaknya untuk menjemput Samad. Subihawati memang tahu bahwa Samad pergi ke Pantai Barombong.
Subihawati dan kakaknya memang sengaja menjemput Samad atas perintah ayah mereka. Haji Daeng Manaba yang memang dermawan dan kaya bermaksud ingin membiayai sekolah Samad. Setelah Subihawati mengabarkan niat baik ayahnya, Samad menangis karena sangat berbahagia. Tiba-tiba di pelupuk matanya cita-citanya nampak cerah lagi. Pun rasa cintanya pada Subihawati yang memang tidak pernah sirna kian berbunga-bunga kembali. Tapi Samad tidak mau memikirkan tentang perasaannya. Ia sangat menghormati Haji Daeng Manaba dan keluarganya.
Sebelum pulang bersama Subihawati dan kakaknya. Samad pun membasuh wajahnya di Pantai Barombong. Saat itu ia merasa seolah ayahnya tersenyum kepadanya.
“Terima kasih ayahku! Terima kasih lautku” Begitu batin Samad.



Senin, 07 Maret 2011

CERPEN dul abdul rahman: PERCAKAPAN BURUNG-BURUNG

PERCAKAPAN BURUNG-BURUNG
Cerpen: Dul Abdul Rahman

Suatu ketika, berkumpullah segala jenis burung dari seantero mayapada. Mereka ingin membicarakan habitatnya yang mulai terancam. Konon, pertemuan berskala internasional tersebut diadakan di puncak gunung Bawakaraeng. Ada beberapa alasan mengapa mereka mengadakan pertemuan disana. Mereka memperkirakan jika pembabatan hutan di kawasan gunung itu terus berlangsung, diperkirakan seratus tahun kemudian gunung Bawakaraeng akan menjadi daratan. Erosi dan banjir bandang meluluhlantakkan daerah-daerah sekitarnya. Sementara lempeng Australia yang terus bermesraan dengan pulau Nusa Tenggara akan dikutuk oleh gempa bumi berkekuatan di atas 10 skala richter.
Prediksi tersebut cukup meresahkan bangsa burung. Karena gempa yang hanya berkekuatan 8,9 skala richter mampu memorak-morandakan sebagian negara di kawasan Asia dan Afrika Timur lewat senjata tsunaminya. Apalagi bila berkekuatan di atas 10 skala richter, maka bangsa burung memperkirakan pulau Sulawesi akan tenggelam tanpa senjata perisai yang bernama gunung dan hutan.
Hipotesis bangsa burung mulai menemukan titik-titik kebenaran ketika beberapa sungai yang berhulu di gunung Bawakaraeng ngambek dan mengencingi kawasan sekitarnya. Yang paling emosi adalah sungai Mangottong di Sinjai, karena selain pasirnya dikeruk tanpa permisi lalu diangkut dengan kendaraan plat merah. Pun wajahnya selalu ditampar dengan sampah yang dibawa oleh kendaraan plat merah. Merah berarti darah. Darah harus dibalas dengan darah. Begitulah kemasygulan sungai Mangottong.
Dan. Alasan utama pertemuan diadakan di puncak Bawakaraeng, karena para bangsa burung merasa tempat itulah paling aman saat ini. Apalagi disana sudah bermukim burung Hud-hud yang bermigrasi dari tanah Libanon karena tak kuat menahan kekejaman serdadu Israel yang membumihanguskan kawasan hutan yang subur di kota Tyre. Burung Hud-hud kecintaan Nabi Sulaeman, memang telah diangkat menjadi sekjen Perserikatan Bangsa Burung secara aklamasi. Ia dianggap cakap dan mampu memperjuangkan hak-hak asasai bangsa burung yang selalu terdzalimi.
Laiknya pimpinan sidang, burung Hud-hud mulai membuka sidang dengan mengepakkan sayapnya tiga kali. Semua yang hadir memberikan aplaus panjang dengan berbunyi nyaring. Saking banyaknya burung yang datang, maka sebagian menginap di kawasan gunung Lompobattang. Bagi beberapa burung, menginap di kedua puncak gunung tersebut laiknya menginap di hotel berbintang lima.
”Hadirin para bangsa burung yang berbahagia. Sebelum kita mengambil kebijakan-kebijakan akan masa depan kita, terlebih dahulu saya memberikan kesempatan kepada kalian untuk menumpahkan segala uneg-uneg. Ingat, ini pertemuan internasional, harap menyebutkan nama asli.” Ujar burung Hud-hud yang bermahkota itu.
Serempak seluruh burung berbunyi gegap gempita pertanda ingin menumpahkan segala keresahannya. Namun burung Hud-hud yang bijak memberi kesempatan pertama kepada burung Penguin. Karena ia adalah burung yang paling jauh kampung halamannya di kutub selatan. Ia juga burung yang paling patah hati karena tidak bisa memeluk angkasa. Maksud hati memeluk angkasa apa daya sayap tak sampai. Selalu bagitulah keluh kesah burung Penguin.
”Saudaraku sekalian, nama saya sphenisciformes,” Penguin memperkenalkan diri. ”Saya sangat senang berada disini, apalagi ini pengalaman pertama saya berada di gunung. Saya kemari dengan berenang melintasi lautan Atlantik yang ganas. Sebelumnya saya singgah di suatu tempat yang bernama New York.”
”Wow, sungguh menarik.” Burung yang lain menyela.
”Nah inilah yang saya mau ceritakan. Di kota New York itu ada tempat perkantoran yang menyontek nama perkumpulan kita. Kalau tak salah, namanya Perserikatan Bangsa Bangsa, mirip dengan nama perkumpulan kita PBB. Yang menjadi persoalan sekarang karena penggunaan nama itu merusak citra nama perkumpulan kita.” Burung Penguin rupanya kelelahan. Wajar memang karena ia melakukan perjalanan yang maha jauh.
”Teruskan!” Ketua sidang memberi semangat.
”Begini, ternyata lembaga itu hanya kaki tangan Amerika untuk menggenggam dunia dengan tangan kotornya. Lihatlah lembaga itu impoten tatkala Amerika mengalirkan darah orang-orang Iraq yang tak berdosa. Lihatlah sekarang! Betapa lembaga yang menamakan diri PBB itu sengaja memberi waktu kepada Israel yang notabene teman main Amerika untuk menghancurkan Palestina dan Libanon. Lihatlah! Airmata darah anak-anak Palestina yang tak berdosa dijadikan obat awet muda oleh serdadu Israel.”
”Buset...! Buset...!” Gemuruh para burung mengutuk kekejaman Israel. Pun pepohonan tak kalah geramnya. Seluruh dahan-dahannya bergoyang kesana kemari seperti menampar serdadu Israel.
”Hadirin dimohon tenang. Kita sebaiknya berpikir dengan kepala dingin. Kekejaman Israel memang sudah tak bisa lagi ditolerir, tapi....”
”Huuu....” Belum juga selesai penjelasan burung Hud-hud, burung yang lain memprotes.
”Baiklah hadirin, sebaiknya masalah ini tak usah kita permasalahkan panjang lebar. Ini masalah politik. Kita harus waspada, jangan sampai kita ikut terjerumus. Baiklah kita persilahkan lagi burung yang lain menceritakan pengalamannya. Burung Hud-hud memang terkenal jago bersilat lidah tapi agak pengecut.
”Nama saya Leptoptilos Javanicus.” Burung Bangau memperkenalkan diri. ”Saat ini saya menetap di Pulau Jawa, tapi akhir-akhir ini kami sekeluarga resah karena habitat kami tergenang oleh lumpur beracun. Manusia sangat rakus membangun industri tanpa memperhatikan amdal.” Burung Bangau memaparkan penuh haru karena sebagian keluarga mereka menjadi korban lumpur panas nan ganas.
Hadirin terdiam. Pertanda keprihatinan mendalam atas segala musibah yang menimpa. Airmata pepohonan mulai bertitik-titik, tapi ia masih menahan airmatanya sampai mewujud jadi embun esok hari. Dalam diam, angin nan sejuk mencoba menghibur para burung. Ia merayu pepohonan agar dahannya sudi meniup biola walau tanpa dawai.
”Nama saya Geopelia Striata.” Burung perkutut membelah kesunyian. ”Saya tinggal di pedalaman hutan Kalimantan, tapi hutan Kalimantan sekarang kurang nyaman. Pembalakan liar terjadi dimana-mana.”
”Krghhh... Dimana-mana manusia memang serakah.” Burung Kondor dari pegunungan Andes terlihat emosi dengan mengerkau ranting pepohonan. Ia terlihat kedinginan karena dari sononya memang leher dan kepalanya tidak berbulu.
Angin barubu dari arah selatan gunung Bawakaraeng terus berkesiur memberi hiburan gratis kepada peserta rapat. Sementara titik-titik embun merintih lirih di dedaunan menunggu pagi. Mereka meratapi kemalangan nasib bangsa burung.
”Apa kareba? Nama saya Graculla Religiosa.” Burung Beo kelihatan malu-malu memperkenalkan diri. Suaranya serak-serak basah.
Semua tercengang mendengar penuturan burung Beo. Logat bicaranya terdengar asing. ”Ada apa denganmu burung Beo? Logat bicaramu aneh.” Burung Enggang yang sering disapa Mr. Bucerass Rhinoceros bersuara parau. Ia memang termasuk burung yang disegani karena tubuhnya yang besar.
”Saya korban perdagangan gelap yang dilakukan manusia. Saya terdampar di sebuah rumah mewah di Makassar. Urat leher saya pecah karena dipaksa bersuara seperti manusia. Manusia sangat egois, hanya memperjuangkan dirinya sendiri dengan embel-embel perikemanusiaan, mereka tidak mengenal arti perikeburunan. Meskipun kata perikemanusiaan dan perikeburunan memang beda tapi maknanya sama, saling menyayangi.” Airmata burung Beo menganak sungai menuju sungai Mangottong, pertanda ia menahan penderitaan yang amat mendalam.
Diam. Tak ada suara. Pun angin, pepohonan terpaku. Hanya bulan sesekali mengintip lewat celah pepohonan. Bintang mengantuk. Langit pucat, seperti tak sanggup lagi menerima bisikan kabut yang menggendong asap hasil pembakaran hutan pulau Sumatra dan Kalimantan.
”Ceritakanlah kepada kami bagaimana burung Beo bisa lepas dari cengkeraman manusia.” Burung Camar yang biasa dipanggil Thalasseus Bengalensia rupanya sangat tertarik dengan cerita burung Beo.
”Untungnya, senjata avian influenza yang pernah kita uji cobakan di Inggris dan Cina nyasar ke Indonesia. Karena tuan saya takut terjangkiti firus flu burung, maka ia melepaskan saya.”
”Bagus! Bagus! Sebelum kita menciptakan senjata yang lebih dahsyat dari flu burung untuk melawan keserakahan manusia, kita dengar dulu cerita burung parkit.” Burung Hud-hud memberi arahan.
”Nama saya Psitacula Passerina.” Burung parkit memperkenalkan diri. Burung ini memang yang paling kecil di antara burung-burung yang hadir, tapi semangatnya sebesar gunung Bawakaraeng. Cericitnya saja seolah membelah gunung Lompobattang, bahkan menggetarkan gunung Latimojong yang jauh.
”Keluarga kami tersebar dimana-mana, dari puncak Himalaya sampai lembah sungai Nil. Tapi keluarga kami lebih suka tinggal di pegunungan Jayawijaya Papua. Sayang, hutan disana mulai rusak, bahkan polusi udara tak kalah kejamnya, muntahan mulut Freeport.” Kelompok burung parkit tersedu dalam tangis.
”Hadirin yang berbahagia, setelah mendengarkan penuturan beberapa teman, tibalah saatnya kita menciptakan senjata ampuh peredam ketamakan manusia.” Burung Hud-hud mengepakkan sayap dua kali.
”Interupsi ketua sidang.” Teriak buruk Elang.
”Silakan Mr. Microhierax Caeralescens.”
”Saya tidak setuju kalau kita menciptakan lagi senjata yang menakutkan manusia. Senjata flu burung sudah membuat mereka ketar-ketir.” Burung Elang nampaknya tak punya rasa dendam.
”Huuu... ” Koor burung-burung lainnya pertanda tidak setuju dengan burung Elang.
”Ingat kawan-kawan! Bukankah dengan penyakit flu burung korbannya yang paling banyak adalah kita sendiri,” burung elang tak mau kalah. Pro-kontra pun terjadi. Akhirnya voting pun tak terelakkan. Hasilnya, akan diciptakan senjata ampuh untuk melaknat manusia-manusia yang berlumuran dosa.
”Baiklah saya persilakan burung Kakatua mengumumkan jenis senjata yang mematikan itu.” Ketua sidang mengarahkan kembali.
Burung Kakatua yang bernama asli Cacatua menjelaskan, ”Baiklah saya akan mengemukakan jenis senjata ampuh itu yang lebih dahsyat dibandingkan dengan flu burung. Tapi jenis senjata itu diperuntukkan untuk kaum pria yang tidak setia kepada istrinya, yang selalu berhubungan dengan perempuan yang bukan istrinya. Gejalanya begini, setiap selesai berhubungan maka alat kelaminnya melepuh dan tak bisa berfungsi lagi.”
”Lalu apa hubungannya dengan kita?” Burung Punai menyela.
”Ada hubungannya Mr. Treron Curvirostra, karena ternyata manusia itu melecehkan nama kita, nama burung selalu dipelesetkan.” Burung Kakatua mengakhiri penjelasannya.
”Tapi mengapa kita begitu kejam, bukankah rasa perikeburunan itu intinya adalah kasih sayang sesama makhluk hidup.” Rupanya burung Elang masih kasihan pada manusia.
”Kita sebenarnya tidak kejam, kita cuma memberi pelajaran kepada manusia. Penyakit flu burung tidak akan mengjangkiti manusia bila mereka selalu menjaga lingkungannya yang notabene habitat kita juga. Manusia juga jangan asal mengkomsumsi daging burung, bukankah agama mereka mengajarkan konsep halalan tayyiban? Selanjutnya senjata ampuh yang kita akan kirimkan tidak akan mengjangkiti mereka asal selalu menjaga kehormatannya, tidak bergaul bebas.” Burung Hud-hud berusaha meyakinkan rekan-rekannya.
”Lalu apa nama senjata pamungkas yang baru itu?” Burung Punai penasaran.
”Kalau flu burung nama aslinya avian influenza karena kita mengadakan uji coba pertama kali di negara Inggris. Sementara penyakit ini kita akan uji cobakan pertama kali di Makassar. Jadi nama aslinya adalah Flu Burung Daeng.
Aplaus panjang. Pertanda setuju dengan nama penyakit yang akan diujicobakan di Makassar. Sementara burung Beo hanya terkekeh-kekeh. Ia mengingat mantan tuannya yang tinggal di Makassar yang pernah membawanya bertamasya ke jalan Nusantara. Tempat para pasangan selingkuh menghempas birahi.
Akhirnya rapat ditutup dengan seruling angin barubu yang bernada Angin Mammiri ditingkahi goyangan pepohonan berirama Pakkarena.

Sinjai-Makassar, 2006
1. Cerpen ”PERCAKAPAN BURUNG-BURUNG” dimuat Harian Fajar, Ahad 18 Maret 2007