Kamis, 26 September 2013

Tomanurung dan Jejak Pilkada yang Murung


Tomanurung dan Jejak Pilkada yang Murung

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

Bermula dari cerita I La Galigo, sebuah napak tilas manusia pertama di kerajaan bumi, bahwa manusia pertama yang menghuni bumi adalah Batara Guru. Ia adalah tomanurung (orang yang turun) dari langit. Sang tomanurung (Batara Guru) berjodoh dengan We Nyiliq Timoq, perempuan totompoq (orang yang muncul) dari dunia bawah (Peretiwi). Duet tomanurung dan totompoq yang maddara takkuq (berdarah putih, bangsawan) kemudian beranak-pinak membentuk kerajaan di jazirah Sulawesi.

Selanjutnya, akibat pengaruh epik I La Galigo, yang dulunya sangat disakralkan dan dianggap sebagai sebuah kitab suci, maka sejarah dan asal-usul kerajaan di jazirah Sulawesi ikut terselubung oleh mitos tomanurung. Semua raja pertama konon adalah tomanurung, manusia suci atau manusia sakti dari langit. Tentu saja ini hanyalah sebuah mitos, tetapi sejak dahulu hingga sekarang orang tetap percaya kepada mitos atau hal-hal gaib lainnya.

Sebenarnya, pengakuan sebagai manusia tomanurung sengaja di-lontara-kan oleh pihak istana kerajaan, lalu dituturkan secara lisan agar masyarakat semakin tunduk dan patuh kepada sang raja yang notabene adalah tomanurung atau turunan tomanurung. Itulah sebabnya, lontara I La Galigo hanya dimiliki keluarga kerajaan yang dianggap sebagai kitab yang sangat sakral, dan tidak bisa dipindahtangankan kepada pihak yang bukan turunan tomanurung. Makanya, ketika B.F Matthes ingin memiliki lontara I La Galigo, ia terpaksa meminta Colliq Pujie Arung Pancana Toa menyalin lontara tersebut untuknya.

Dalam sejarah kerajaan di jazirah Sulawesi, konsep tomanurung tetap terjaga. Bila suatu kerajaan mengalahkan kerajaan lain, maka sang pemenang tidak akan mengganggu sistem kepemimpinan tomanurung pada kerajaan yang kalah. Ketika Gowa takluk, Arung Palakka tidak serta merta punya hak berkuasa di Gowa. Sebab Gowa hanya boleh dipimpin oleh turunan tomanurung di Gowa. Hanya saja Arung Palakka yang bercita-cita ingin menyatukan kerajaan di Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) punya taktik jitu, ia menikahkan La Patau (putra mahkota kerajaan Bone) dengan putri Raja Gowa Karaeng Sanrabone alias I Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil.

Yang sangat menarik, dengan konsep tomanurung, tidak ada huru-hara dalam pergantian kekuasan pada kerajaan-kerajaan terdahulu di Sulawesi Selatan. Tidak ada peristiwa ala Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung lalu memperisteri Ken Dedes dan berkuasa, selanjutnya adalah perebutan kekuasan dan pertumpahan darah.
Di era demokrasi sekarang ini, konsep tomanurung sebenarnya tidaklah hilang (atau jangan dihilangkan). Ia hanya berubah wajah menjadi pemilu/pilkada. Pemimpin yang terpilih lewat pilkada sebagai wajah lain konsep tomanurung, semestinya disambut dengan suka cita sebagai orang ‘manurung’ (turun) untuk membangun daerahnya menjadi lebih baik. Pihak yang kalah harus menyadari bahwa mereka bukanlah tomanurung yang dinginkan oleh rakyat.

Di sisi lain, mereka yang terpilih, harus juga sadar bahwa mereka adalah tomanurung, orang yang turun membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Dan yang terpenting, mereka yang terpilih harus benar-benar berperilaku sebagai tomanurung, manusia suci yang turun dari langit suci demokrasi, manusia yang yang bertanggung jawab, jujur, dan amanah. Sebab jika tidak, sang tomanurung akan mendapat kutukan. 

Pada akhir cerita I La Galigo, Sang Patotoe menutup pintu langit sebagai sebuah hukuman kepada tomanurung yang semena-mena memerintah di kerajaan bumi. Sejarah juga mencatat, meski seorang pemimpin (raja) sudah terpilih, tetapi jika ia menyalahi sumpah dan janji maka ia pun akan dicap sebagai sang peresola (sang perusak) yang harus disingkirkan. Itulah yang menimpa Raja Gowa ke-13 Karaeng Tunipasulu Tepukaraeng Daeng Marabbung, ia dimakzulkan oleh Bate Salapang (Dewan Adat) Kerajaan Gowa karena dianggap semena-mena dan tidak adil.
 
Sejatinya, bilamana pemilu/pilkada dianggap sebagai wajah lain konsep tomanurung, yang akan melahirkan sang pemimpin yang akan turun membawa perubahan ke arah yang lebih baik, maka tidak ada lagi huru-hara yang mewarnai pesta demokrasi di negeri ini, khususnya Sulawesi Selatan sebagai Bumi Tomanurung. Sebab yang terpilih haruslah diselamati sebagai tomanurung yang turun membawa perubahan. Pun, sang tomanurung yang terpilih harus berjanji pada dirinya sendiri untuk turun gelanggang, menyingsingkan lengan baju untuk menjalankan janji-janji program kampanyenya. Sebab tomanurung dalam wajah demokrasi sekarang ini lebih bermakna sebagai seorang pelayan

Kamis, 05 September 2013

LELAKI BUGIS, TARO ADA TARO GAU


Lelaki Bugis, Taro Ada Taro Gau

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

            Sekitar abad XVI, persekutuan Kerajaan Tellulimpoe (Lamatti, Bulo-Bulo, dan Tondong) melakukan perjanjian dengan Raja Gowa X Karaeng Tunipallangga  alias I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung. Ketiga kerajaan yang menjadi cikal-bakal Kabupaten Sinjai itu bersama persekutuan Pitulimpoe, diwakili oleh Arung Lamatti bernama Arung Pali’e. Perjanjian tersebut berlangsung di Aruhu di bawah pohon beringin. Perjanjian itu berisi kesepakatan antara Kerajaan Gowa dan persekutuan Kerajaan Tellulimpoe untuk saling membantu dan saling mengingatkan dalam hal kebaikan. Barang siapa yang mengingkari isi perjanjian tersebut, maka ia akan ditimpa oleh pohon beringin yang sudah ditanam bersama di Aruhu. Isi perjanjian lainnya, Gowa dan Tellulimpoe adalah bersaudara. Gowa dan Tellulimpoe harus bersatu padu, bila Gowa meninggal di pagi hari, maka Tellulimpoe menyusul di sore hari. Gowa dan Tellulimpoe akan Mate Siwalung (mati bersama).

            Belum cukup setahun peristiwa perjanjian Aruhu tersebut, datanglah utusan Raja Gowa ke Tellulimpoe. Raja Gowa Karaeng Tunipallangga meminta bantuan dari persekutuan Tellulimpoe untung menyerang Kerajaan Bone. Tentu saja para arung di Tellulimpoe sangat terkejut dengan permintaan Raja Gowa, sebab bagi Tellulimpoe, menyerang Bone sama dengan menyerang dan mengkhianati saudara sendiri.

            Maka berkumpullah para arung dan bangsawan ketiga kerajaan persekutuan Tellulimpoe. Pertemuan berlangsung hening, para bangsawan hanya terdiam, umumnya mereka menyesalkan Raja Gowa yang ingin menyerang Bone, tetapi ada juga yang bisa memahami langkah Raja Gowa, sebab Bone merupakan pesaing utama Gowa, apalagi saat itu Bone sudah menjalin kerjasama erat dengan Soppeng dan Wajo atas prakarsa utama penasehat Kerajaan Bone, La Mellong Kajao Laliddong.

            Di tengah keheningan tersebut, Arung Pali’e yang menjadi wakil persekutuan Tellulimpoe ketika mengadakan perjanjian dengan Karaeng Tunipallangga, berdiri sambil memandang semua yang hadir.

            “Kita tidak mungkin ikut menyerang Bone yang merupakan saudara kita sendiri,” Arung Pali’e menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu melanjutkan kalimatnya, “tetapi kita tidak bisa juga menolak permintaan Raja Gowa karena kita sudah mengikat perjanjian dengan mereka.”

            “Lalu apa yang harus kita lakukan, Puang?” Tanya La Patolai yang kelak akan menggantikan Arung Pali’e bertahta di Lamatti.

            “Saya tidak rela pasukan Tellulimpoe ikut menyerang Bone, tetapi karena Tellulimpoe terlanjur sudah mengikat perjanjian dengan Gowa maka saya tetap akan mengutus seorang panglima Tellulimpoe untuk bergabung dengan pasukan Gowa. Karena sayalah yang bertanggung jawab langsung atas segala perjanjian dengan Gowa di Aruhu, maka saya sendirilah satu-satunya utusan Tellulimpoe. Dan, kelak bila saya gugur dalam perang, maka janganlah kalian menganggap saya gugur karena berperang melawan saudara sendiri, tetapi anggaplah saya gugur dalam menegakkan harga diri orang Tellulimpoe, harga diri kita adalah taro ada taro gau (satunya kata dengan perbuatan).

            Maka bergabunglah Arung Pali’e seorang diri dari Tellulimpoe dengan pasukan Gowa untuk menyerang Bone. Dalam peperangan antara Gowa dan Bone yang terkenal dengan nama perang Tobala tersebut, Arung Pali’e pun tewas terbunuh. Orang Tellulimpoe pun menggelari Arung Pali’e sebagai arung tolempu na magetteng (orang jujur dan teguh pendirian)

            Arung Pali’e adalah sosok lelaki Bugis yang memegang prinsip taro ada taro gau. Ia adalah sosok pemimpin yang malempu (jujur) dan magetteng (teguh pendirian). Ia adalah perwujudan nilai-nilai keteladanan orang Bugis-Makassar “Eppa’i gau’na gettennge: tesalaie janci, tessoroe ulu ada, telluka anu pua teppinra assituruseng, mabbicarai naparapi mabbinru’i tepupi napaja.” (Ada empat perbuatan nilai keteguhan: tidak mengingkari janji, tidak menghianati kesepakatan, tidak membatalkan keputusan, tidak mengubah kesepakatan). 

Adakah lelaki Bugis sekarang seperti Arung Pali’e? Lelaki Bugis yang rela menyerang saudaranya sendiri, menyerang dirinya sendiri, mengorbankan dirinya sendiri, demi menegakkan harga dirinya: taro ada taro gau.

Ah! Jangan-jangan sekarang, lelaki Bugis berubah menjadi lelaki bengis. Lelaki yang begitu gampang membuat janji lalu dengan sangat gampang pula menghianati janji dan kesepakatan, karena ia adalah lelaki pengemis, pengemis harta dan jabatan. Ataukah lelaki Bugis menjadi lelaki gamis, lelaki yang sering puasa senin-kamis, tapi korupsinya juga berjalan lancar seperti air yang tak bertapis. Maka, wahai lelaki Bugis! Jangan pernah memahat janji lalu sibuk mencari alibi untuk tidak menepati janji. Ya, termasuk janji-janji politik. Assekki Ada Jancie (Berpegang teguhlah pada janji).