TIAP CERITA PUNYA DENDAM MASA LALU, LALU “PADA SEBUAH
PERPUSTAKAAN DI SURGA”
oleh: dul abdul rahman
“Tiap cerita punya sahibul hikayat,
ia yang menentukan sudut pandang, darimana cerita itu harus dilihat” (Mohammad
Diponegoro)
Dan, sahibul hikayat itu bisa
bermacam-macam. Boleh jadi ia adalah kenangan, angan-angan, atau inspirasi. Wujudnya
boleh jadi rindu, benci, luka, atau malah dendam.
Jadi, “Tiap cerita punya dendam
masa lalu” (Dul Abdul Rahman)
…
Novel saya “Pada Sebuah
Perpustakaan di Surga” adalah wujud dendam akan masa lalu.
Dendam itu bermula di Perpustakaan
Pusat Universitas Hasanuddin.
Saya merasa tidak sah rasanya pergi
ke kampus bila tidak berkunjung ke perpustakaan, khususnya perpustakaan pusat
(ini juga akibat dendam masa lalu sebagai anak kampung yang sangat sulit
mengakses buku-buku).
Di perpustakaan pusat itulah saya
selalu bertemu dengannya. Nama panggilannya Rany. Perempuan bermata bolla itu adalah teman satu gugus pada
saat penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Saat itu kami
mahasiswa baru di Universitas Hasanuddin. Rany mahasiswa FKM, saya anak Sastra
Inggeris.
Biasanya kalau saya duluan masuk
perpustakaan, saya menghabiskan waktu dulu di ruangan koran dan majalah untuk
meng-update berita politik. Kala itu saya sangat mengidolakan Sri Bintang
Pamungkas dan Amin Rais, kedua tokoh ini sudah ‘melawan’ pemerintah Orde Baru
di saat tokoh-tokoh lainnya masih bungkam. Saat itu saya begitu berharap,
estafet kepemimpinan nasional selanjutnya dipegang oleh kedua tokoh tersebut,
meski akhirnya saya berkesimpulan kalau passion
Amin Rais bukanlah di pemerintahan, tetapi di pergerakan atau kecendekiawanan.
Saya memiliki alasan lain memilih
ruangan koran dan majalah. (Meski alasan ini tidak penting, biarlah saya tetap
ceritakan). Pada pertengahan halaman setiap majalah, biasanya ada rubrik tokoh.
Rubrik tersebut hanya berisi satu atau dua paragraf kalimat lalu dibubuhi
gambar sang tokoh. (Tidak) anehnya, tokoh yang dihadirkan adalah artis dengan
foto yang menantang adrenalin. Maka…
Setiap kali ada mahasiswa
(laki-laki tentunya) membuka sebuah majalah, saya selalu memerhatikannya.
Ternyata umumnya cara mereka membuka majalah persis sama dengan saya, langsung
di bagian tengah.
Saya menandai sebuah majalah, kalau
tidak salah majalah Tempo, memuat gambar Sarah Azhari dengan ‘masa depan’ yang
menonjol. Ketika pertama membuka majalah itu, saya mengutuki pegawai
perpustakaan yang sudah memberi stempel persis di bagian ‘masa depan’ yang
boleh jadi semua lelaki ingin meraihnya. Untungnya, kertas yang memuat halaman
tokoh adalah kertas licin seperti pada cover, maka saya bisa menghapus tinta stempel
itu dengan memberi sedikit air liur. Maka kelihatanlah ‘masa depan’ Sarah
Azhari yang sangat cerah. Keesokan harinya, saya mendapati foto Sarah Azhari
sudah dirobek. Saya yakin, yang melakukannya adalah pembaca lain. Saya kembali
mengutuki orang yang mencuri gambar tersebut. Bahkan saya menyumpahinya agar ia
masuk neraka. Padahal, saya tidak lebih baik, pun tidak lebih alim daripada
orang yang mencuri gambar itu. Tapi setidaknya, saya lebih baik sedikit
daripada seorang pembaca laki-laki yang setiap kali membuka halaman tengah
majalah, yang dicarinya adalah gambar Tommy Page.
…
Saya sudah menyukai Rany sejak
perkenalan pertama kami di hari pertama penataran P4. Alasan utama menyukainya,
ini standard umum laki-laki menyukai perempuan, cantik dan seksi. Saya pikir,
kalau hanya itu alasan menyukai perempuan maka “perasaan” itu terlalu rendah,
perasaan yang tak bernas.
Tapi setelah pertemuan kami hampir
setiap hari di perpustakaan, saya benar-benar menyukai Rany. Ia sosok yang
cerdas. Dan setelah saya tahu, bahwa ia adalah seorang anak pejabat di
Bulukumba, punya rumah di perumahan elit Panakkukkang Makassar, maka
sempurnalah sudah sosok Rany di mata saya. Tapi ‘kesempurnaan’ Rany itulah yang
akhirnya menjadi tirai pemisah untuk perasaan saya. Saya pun memendam perasaan
cinta saya lebih tiga tahun, padahal selama lebih tiga tahun itulah saya dan
Rany selalu bersama.
Akhirnya, kami hampir merampungkan
kuliah di Unhas, kami sudah mengikuti program KKN dengan status kuliah 0
kredit. Karena lama berpisah karena berlainan lokasi saat KKN, Rany di
Bulukumba, saya di Enrekang, apalagi saat itu belum ada HP, pun belum ada
sosmed, saya benar-benar rindu berat sama Rany. Rencananya, selepas KKN, saya
akan menemuinya di perpustakaan pusat Unhas, dan saat itu saya sudah
berketetapan hati untuk menyampaikan perasaan saya. Saya tidak peduli lagi
dengan ‘jurang pemisah’ yang sebenarnya hanya kuciptakan sendiri, karena Rany
tidak pernah sedikit pun menyombongkan pangkat dan harta orang tuanya.
Akhirnya kami bertemu, ohmaigad, Rany semakin cantik. Sungguh
saya tidak menyesali pembaca yang dulu mengambil dan merobek gambar Sarah
Azhari, karena Rany lebih cantik dan menarik daripada Sarah Azhari. Kurru Sumange, saya pun bersiap-siap
menyampaikan perasaan saya yang sudah berdarah-darah dalam hati.
Tapi Rany mendahului saya bicara,
katanya ia akan menunda menyelesaikan kuliahnya. Ia akan cuti satu semester.
Seorang sepupunya yang sukses jadi pengacara di Jakarta datang melamarnya. Ia
tidak enak menolak. Apalagi ia juga belum punya calon pendamping. Begitu
katanya.
Saya ingin menangis darah. Tetapi
darah dan airmata saya membeku. Meski saya tahu, jurang pemisah kali itu
benar-benar tercipta, karena ia sudah menerima lamaran sepupunya, saya tetap
menyampaikan perasaan saya.
Saya terkejut. Rany menangis
tersedu sedan. “Kau lelaki terbodoh yang pernah kutemui, mengapa baru kau
katakan sekarang?”
Boleh jadi memang saya adalah
lelaki terbodoh, tetapi saya tetap ingin jadi pahlawan, saya mengambil sapu
tangan. Lalu mencoba menghapus airmatanya. Rany menghindar lalu berkata, “Kau
hanya pintar membaca buku tapi tidak pintar membaca hati perempuan.”
Rany beranjak pergi. Saya menangis
sendirian. Menangisi kebodohan sendiri. Rany benar-benar pergi. Akhirnya saya
benar-benar menangis darah.
Saya mengikuti jejak Rany, saya
juga menunda menyelesaikan kuliah. Saya cuti satu semester. Tetapi alasan saya
mengambil cuti, agar terhindar dari pembayaran SPP, karena selama cuti tersebut
saya tetap berada di perpustakaan pusat Unhas. Di kepala saya selau terngiang kalimat
Rany, “Kau hanya pintar memnbaca buku tapi tidak pintar membaca hati
perempuan.” Saya pikir, saya tidak punya apa-apa lagi kalau sudah tidak pintar
membaca hati perempuan, tidak pintar pula membaca buku.
Maka selama satu semester itu, saya
hanya berada di perpustakaan pusat Unhas untuk membaca dan membaca. Saya sudah
membaca (hampir) semua buku sastra, filsafat, dan sejarah pemikiran yang berada
di ruang cadangan khusus di lantai empat. Pada ruang khusus itu, buku-buku
tidak boleh dipinjam, hanya boleh dibaca ditempat dengan memperlihatkan kartu
perpustakaan dan kartu mahasiswa.
…
Novel “Pada Sebuah Perpustakaan di
Surga” yang terinspirasi dari perpustakaan pusat Unhas, adalah cara saya untuk
membuktikan kalimat Rany dulu bahwa saya memang adalah pembaca buku yang baik.
Sebab membaca dan menulis adalah dua aktifitas yang tidak bisa dipisahkan.
Pun, “Pada Sebuah Perpustakaan di
Surga” adalah cara lain saya untuk mendendam pada masa lalu, bukan memendam
masa lalu.
Makanya, yuk! Mari mendendam pada
masa lalu dengan menuliskannya. Lah! Untuk apa juga memendam masa lalu dengan
mendiamkan dan tidak menuliskannya?
…
Berikut hasil dendam masa lalu
saya:
- Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan Cerpen, Nala Makassar, 2006)
- Pohon-Pohon Rindu (Novel, DIVA Press Yogyakarta, 2009)
- Daun-Daun Rindu (Novel, DIVA Press Yogyakarta, 2010)
- Perempuan Poppo (Novel, Ombak Yogyakarta, 2010)
- Sabda Laut (Novel, Ombak Yogyakarta, 2010)
- Sarifah (Novel, DIVA Press Yogyakarta, 2011)
- La Galigo, Napak Tilas Manusia Pertama di Kerajaan Bumi (Novel Klasik, DIVA Press Yogyakarta, 2012)
- La Galigo 2, Gemuruh Batin Sang Penguasa Laut (Novel Klasik, DIVA Press Yogyakarta, 2012).
- Insyaallah, Aku Bisa Sekolah (Novel, DIVA Press Yogyakarta, 2015)
- Pohon-Pohon Peluru (Kumpulan Cerpen, Pustaka Puitika Yogyakarta 2015)
- Hikayat Cinta Lelaki Monyet dan Kupu-kupu Bantimurung (Novel, Ombak Yogyakarta, 2016)
- Terbunuhnya Sang Nabi (Novel, Penerbit Kakilangit Jakarta, 2017)
- Pada Sebuah Perpustakaan di Surga (Novel, Ombak Yogyakarta, 2017)