Sabtu, 11 November 2017

TIAP CERITA PUNYA DENDAM MASA LALU, LALU “PADA SEBUAH PERPUSTAKAAN DI SURGA”




TIAP CERITA PUNYA DENDAM MASA LALU, LALU “PADA SEBUAH PERPUSTAKAAN DI SURGA”

oleh: dul abdul rahman
 
“Tiap cerita punya sahibul hikayat, ia yang menentukan sudut pandang, darimana cerita itu harus dilihat” (Mohammad Diponegoro)

Dan, sahibul hikayat itu bisa bermacam-macam. Boleh jadi ia adalah kenangan, angan-angan, atau inspirasi. Wujudnya boleh jadi rindu, benci, luka, atau malah dendam.

Jadi, “Tiap cerita punya dendam masa lalu” (Dul Abdul Rahman)

Novel saya “Pada Sebuah Perpustakaan di Surga” adalah wujud dendam akan masa lalu.

Dendam itu bermula di Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin.
Saya merasa tidak sah rasanya pergi ke kampus bila tidak berkunjung ke perpustakaan, khususnya perpustakaan pusat (ini juga akibat dendam masa lalu sebagai anak kampung yang sangat sulit mengakses buku-buku).

Di perpustakaan pusat itulah saya selalu bertemu dengannya. Nama panggilannya Rany. Perempuan bermata bolla itu adalah teman satu gugus pada saat penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Saat itu kami mahasiswa baru di Universitas Hasanuddin. Rany mahasiswa FKM, saya anak Sastra Inggeris.

Biasanya kalau saya duluan masuk perpustakaan, saya menghabiskan waktu dulu di ruangan koran dan majalah untuk meng-update berita politik. Kala itu saya sangat mengidolakan Sri Bintang Pamungkas dan Amin Rais, kedua tokoh ini sudah ‘melawan’ pemerintah Orde Baru di saat tokoh-tokoh lainnya masih bungkam. Saat itu saya begitu berharap, estafet kepemimpinan nasional selanjutnya dipegang oleh kedua tokoh tersebut, meski akhirnya saya berkesimpulan kalau passion Amin Rais bukanlah di pemerintahan, tetapi di pergerakan atau kecendekiawanan.

Saya memiliki alasan lain memilih ruangan koran dan majalah. (Meski alasan ini tidak penting, biarlah saya tetap ceritakan). Pada pertengahan halaman setiap majalah, biasanya ada rubrik tokoh. Rubrik tersebut hanya berisi satu atau dua paragraf kalimat lalu dibubuhi gambar sang tokoh. (Tidak) anehnya, tokoh yang dihadirkan adalah artis dengan foto yang menantang adrenalin. Maka…

Setiap kali ada mahasiswa (laki-laki tentunya) membuka sebuah majalah, saya selalu memerhatikannya. Ternyata umumnya cara mereka membuka majalah persis sama dengan saya, langsung di bagian tengah.

Saya menandai sebuah majalah, kalau tidak salah majalah Tempo, memuat gambar Sarah Azhari dengan ‘masa depan’ yang menonjol. Ketika pertama membuka majalah itu, saya mengutuki pegawai perpustakaan yang sudah memberi stempel persis di bagian ‘masa depan’ yang boleh jadi semua lelaki ingin meraihnya. Untungnya, kertas yang memuat halaman tokoh adalah kertas licin seperti pada cover, maka saya bisa menghapus tinta stempel itu dengan memberi sedikit air liur. Maka kelihatanlah ‘masa depan’ Sarah Azhari yang sangat cerah. Keesokan harinya, saya mendapati foto Sarah Azhari sudah dirobek. Saya yakin, yang melakukannya adalah pembaca lain. Saya kembali mengutuki orang yang mencuri gambar tersebut. Bahkan saya menyumpahinya agar ia masuk neraka. Padahal, saya tidak lebih baik, pun tidak lebih alim daripada orang yang mencuri gambar itu. Tapi setidaknya, saya lebih baik sedikit daripada seorang pembaca laki-laki yang setiap kali membuka halaman tengah majalah, yang dicarinya adalah gambar Tommy Page.

Saya sudah menyukai Rany sejak perkenalan pertama kami di hari pertama penataran P4. Alasan utama menyukainya, ini standard umum laki-laki menyukai perempuan, cantik dan seksi. Saya pikir, kalau hanya itu alasan menyukai perempuan maka “perasaan” itu terlalu rendah, perasaan yang tak bernas.

Tapi setelah pertemuan kami hampir setiap hari di perpustakaan, saya benar-benar menyukai Rany. Ia sosok yang cerdas. Dan setelah saya tahu, bahwa ia adalah seorang anak pejabat di Bulukumba, punya rumah di perumahan elit Panakkukkang Makassar, maka sempurnalah sudah sosok Rany di mata saya. Tapi ‘kesempurnaan’ Rany itulah yang akhirnya menjadi tirai pemisah untuk perasaan saya. Saya pun memendam perasaan cinta saya lebih tiga tahun, padahal selama lebih tiga tahun itulah saya dan Rany selalu bersama.

Akhirnya, kami hampir merampungkan kuliah di Unhas, kami sudah mengikuti program KKN dengan status kuliah 0 kredit. Karena lama berpisah karena berlainan lokasi saat KKN, Rany di Bulukumba, saya di Enrekang, apalagi saat itu belum ada HP, pun belum ada sosmed, saya benar-benar rindu berat sama Rany. Rencananya, selepas KKN, saya akan menemuinya di perpustakaan pusat Unhas, dan saat itu saya sudah berketetapan hati untuk menyampaikan perasaan saya. Saya tidak peduli lagi dengan ‘jurang pemisah’ yang sebenarnya hanya kuciptakan sendiri, karena Rany tidak pernah sedikit pun menyombongkan pangkat dan harta orang tuanya.      

Akhirnya kami bertemu, ohmaigad, Rany semakin cantik. Sungguh saya tidak menyesali pembaca yang dulu mengambil dan merobek gambar Sarah Azhari, karena Rany lebih cantik dan menarik daripada Sarah Azhari. Kurru Sumange, saya pun bersiap-siap menyampaikan perasaan saya yang sudah berdarah-darah dalam hati.

Tapi Rany mendahului saya bicara, katanya ia akan menunda menyelesaikan kuliahnya. Ia akan cuti satu semester. Seorang sepupunya yang sukses jadi pengacara di Jakarta datang melamarnya. Ia tidak enak menolak. Apalagi ia juga belum punya calon pendamping. Begitu katanya.

Saya ingin menangis darah. Tetapi darah dan airmata saya membeku. Meski saya tahu, jurang pemisah kali itu benar-benar tercipta, karena ia sudah menerima lamaran sepupunya, saya tetap menyampaikan perasaan saya.

Saya terkejut. Rany menangis tersedu sedan. “Kau lelaki terbodoh yang pernah kutemui, mengapa baru kau katakan sekarang?”

Boleh jadi memang saya adalah lelaki terbodoh, tetapi saya tetap ingin jadi pahlawan, saya mengambil sapu tangan. Lalu mencoba menghapus airmatanya. Rany menghindar lalu berkata, “Kau hanya pintar membaca buku tapi tidak pintar membaca hati perempuan.”

Rany beranjak pergi. Saya menangis sendirian. Menangisi kebodohan sendiri. Rany benar-benar pergi. Akhirnya saya benar-benar menangis darah.

Saya mengikuti jejak Rany, saya juga menunda menyelesaikan kuliah. Saya cuti satu semester. Tetapi alasan saya mengambil cuti, agar terhindar dari pembayaran SPP, karena selama cuti tersebut saya tetap berada di perpustakaan pusat Unhas. Di kepala saya selau terngiang kalimat Rany, “Kau hanya pintar memnbaca buku tapi tidak pintar membaca hati perempuan.” Saya pikir, saya tidak punya apa-apa lagi kalau sudah tidak pintar membaca hati perempuan, tidak pintar pula membaca buku.

Maka selama satu semester itu, saya hanya berada di perpustakaan pusat Unhas untuk membaca dan membaca. Saya sudah membaca (hampir) semua buku sastra, filsafat, dan sejarah pemikiran yang berada di ruang cadangan khusus di lantai empat. Pada ruang khusus itu, buku-buku tidak boleh dipinjam, hanya boleh dibaca ditempat dengan memperlihatkan kartu perpustakaan dan kartu mahasiswa.   

Novel “Pada Sebuah Perpustakaan di Surga” yang terinspirasi dari perpustakaan pusat Unhas, adalah cara saya untuk membuktikan kalimat Rany dulu bahwa saya memang adalah pembaca buku yang baik. Sebab membaca dan menulis adalah dua aktifitas yang tidak bisa dipisahkan.

Pun, “Pada Sebuah Perpustakaan di Surga” adalah cara lain saya untuk mendendam pada masa lalu, bukan memendam masa lalu.

Makanya, yuk! Mari mendendam pada masa lalu dengan menuliskannya. Lah! Untuk apa juga memendam masa lalu dengan mendiamkan dan tidak menuliskannya?

Berikut hasil dendam masa lalu saya:
  1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan Cerpen, Nala Makassar, 2006)
  2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, DIVA Press Yogyakarta, 2009)
  3. Daun-Daun Rindu (Novel, DIVA Press Yogyakarta, 2010)
  4. Perempuan Poppo (Novel, Ombak Yogyakarta, 2010)
  5. Sabda Laut (Novel, Ombak Yogyakarta, 2010)
  6. Sarifah (Novel, DIVA Press Yogyakarta, 2011)
  7. La Galigo, Napak Tilas Manusia Pertama di Kerajaan Bumi (Novel Klasik, DIVA Press Yogyakarta, 2012)
  8. La Galigo 2, Gemuruh Batin Sang Penguasa Laut (Novel Klasik, DIVA Press Yogyakarta, 2012).
  9. Insyaallah, Aku Bisa Sekolah (Novel, DIVA Press Yogyakarta, 2015)
  10. Pohon-Pohon Peluru (Kumpulan Cerpen, Pustaka Puitika Yogyakarta 2015)
  11. Hikayat Cinta Lelaki Monyet dan Kupu-kupu Bantimurung (Novel, Ombak Yogyakarta, 2016)
  12. Terbunuhnya Sang Nabi (Novel, Penerbit Kakilangit Jakarta, 2017)
  13. Pada Sebuah Perpustakaan di Surga (Novel, Ombak Yogyakarta, 2017)

7 komentar: